Rabu, 29 Oktober 2014

Amil Zakat dan Asas Pengelolaan Zakat Sesuai UU No.23 tahun 2011

Oleh: Zulfahmi Lubis
A.   Amil Zakat
Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat.
Seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban membayar zakat dan mereka yang menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer Internasional ke-3, di Kuwait.
Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.[1]
Pengelolaan zakat di Indonesia diatur melalui Undang-Undang no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat. Undang–undang yang disahkan tanggal 25 November 2011 ini menggantikan Undang-undang sebelumnya dengan no.38 tahun 1999 Tentang pengelolaan zakat.[2]
Pengaturan pengelolaan zakat melalui undang-undang bertujuan agar zakat dikelola secara melembaga sesuai syariat Islam, amanah, penuh kemanfaatan, berkeadilan, berkepastian hukum, terintegrasi, dan akuntable, sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Uraian-uraian dibawah ini adalah beberapa cuplikan dari undang-undang No. 23 Tentang pengelolan Zakat.
1.      Tujuan pengelolan zakat
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkordinasia dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunan zakat. Pengelolaan zakat bertujuan untuk:
a.       Meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat
b.      Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
 
2.      Baznas
Baznas atau Badan Amil Zakat Nasional dan lembaga Amil Zakat atau disingkat LAZ dapat membentuk satuan organisasi yang dinamakan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang bertugas membantu pengumpulan zakat.[3]
Dalam melaksanakan tugasnya Baznas menyelenggarakan fungsi:
a.       Perencanaan pengumpulan, pendistribusian , dan pendayagunaan zakat
b.      Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
c.       Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan Zakat
d.      Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
3.      Unit pengumpul Zakat (UPZ)
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Baznas, Baznas provinsi,dan Baznas kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, ban usaha milik daerah, perusahan sawasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya yang bertugas membantu mengumpulkan zakat.
 
4.      Lembaga Amil Zakat
Utuk membantu Baznas dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan Zakat, masyarakat dan dapat membentuk LAZ.  Pembentukan LAZ wajib mendapat ijin dari mentri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri.
Persyaratan untuk mendapat izin mendirikan LAZ sebagai berikut:
a.       Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial
b.      Berbentuk lembaga berbadan hukum
c.       Mendapat rekomendasi dari Baznas
d.      Memiliki pengawas Syariah
e.       Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya.
f.       Bersifat nirlaba
g.      Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat
h.      Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala
 
B.   Azas Pengelolahan Zakat
Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan zakat adalah Muzaki dan harta yang dizakatai, Mustahik, dan Amil.[4]
Undang-undang pengelolaan zakat mengamanatkan agar zakat dikelola dengan berdassarkan:
a.       Syariat Islam
b.      Amanah
c.       Keadilan
d.      Kepastian hukum
e.       Terintegrasi
f.       Akuntabilitas
1.      Benda-Benda yang Dizakati
Zakat meliputi mal (harta) dan zakat fitrah. Adapun zakat mal terdiri dari:
a.       Emas, perak, dan logam mulia lainnya
b.      Uang dan surat berharga lainnya
c.       Perniagaan
d.      Pertanian, perkebunan, dann Peternakan
e.       Pertambangan
f.       Perindustrian
g.      Pendapatan dan Jasa
h.      Rikaz
            Menyangkut benda-benda yang dizakati, terdapat beberapa fatwa MUI yang dipergunakan untuk menjawab keraguan Masyrakat, yaitu:
a.       Fatwa MUI tentang Intensifikasi pelaksanaan zakat tanggal 2 januari 1982, memuat salah satu keputusan bahwa “Penghasilan dari jasa dapat dikenakan zakat apabila sampai Nishab dan Haul
b.      Keputusan Musyawarah VI MUI Provinsi Sumatera Utara tahun 2005 No. 02/KPTS/MUSDA VI/XII/2005 tentang zakat hadiah, tanggal 3 Desember 2005, memutuskan bahwa hadiah wajib Zakat apabila memenuhi nisab dan haul.[5]
2.      Pengumpulan
Dalam rangka pengumpulan zakat, Muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban Zakatnya. Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, Muzaki dapat meminta bantuan Baznas. Zakat dibayarkan oleh seorang Muzaki kepada Baznas atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Pengimpulan zakat itu dilakukan tidak hanya Individu, tetapi zakat dihimpun juga dari perusahaan. Ketentuan menghimpun zakat dari perusahaan dapat merujuk pada keputusan komisi B-1 Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia III Tentang Masail Fiqhiyyah Mu’ashorah (Masalah Fikih Kontemporer) terkait dengan Zakat di Padang Panjang 26 Januari 2009, salah satu keputusan ijtima ulama ini adalah: “perusahaan yang telah memenuhi syarat wajib pajak, wajib mengeluarkan zakat, baik sebagai sakhshiyah i’tibariyah ataupun sebagai pengganti (wakil) dari pemegang saham.
3.      Pendistribusian
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat islam. Pendistribusian zakat, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewajiban.
4.      Pendayagunaan
Dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kwalitas Umat Zakat dapat digunakan juag dalam kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan apabila kebutuhan dasar Mustahik telah terpenuhi.
Hal ini zakat dapat dilakukan dalam dua pola, yaitu pola Produktif dan juga pola konsumtif. Para amil zakat diharapkan mampu melakukan pembagian porsi hasil pengumpulan zakat misalnya 60% untuk zakat konsumtif, dan 40% untuk zakat produktif.
Program penyaluran hasil pengumpulan zakat secara konsumtif bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonomi para mustahik melalui pemberian langsung, maupun melalui lembaga-lembaga yang mengelola fakir miskin, panti asuhan, maupun tempat-tempat ibadah yang mendistribusikan zakat kepada masyarakat. Sedangkan program penyaluran hasil pengumpulan zakat secara produktif dapat dilakukan melalaui program bantuan pengusaha lemah, pendidikan gratiss dalam bentuk besiswa, dan pelayanan kesehatan gratis.
5.      Pengelolaan Infak, sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan lainnya
BAZNAS atau LAZ tidak hanya menerima zakat, juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial lainnya dilakukan sesuai dengan syariat islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi. Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri.[6]
 
C.   Larangan dan Sanksi
Sebagaimana lembga yang resmi dan diperkenankan mengelola zakat adalah BAZNAS dan LAZ, maka setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunan zakat melakukantanpa izin pejabat pejabat yang berwenang. Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki, meminjamkan, menghibahkan, menjual, dan mengalihkan dana ZISWAF yang ada dalam pengelolannya.[7]
Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan pasal 25 UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, dikenai sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun, atau pidana denda Rp.500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah).
D.   Pihak yang Berkepentingan Terhadap Laporan Keuangan Zakat
1.      Pemerintah
2.      Muzaki
3.      Ulama, Tokoh masyarakat dan Cendekiawan
4.      Akademisi, Pelaku Riset, Lembaga Statistik
Pada Pasal 30 dan pasal 31 UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, menyebutkaan bahwa untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan anggaran pendapatan belanja negara dan hak amil. Baznas Provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan APBD dan hak amil, sekaligus juga dapat dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara. Karena itu laporan keuangan perlu disaampaikan kepada pemerintah selaku penyedia bagi pembiayaan operasional amil zakat.[8]


[3] Saparuddin Siregar, Akuntansi Zakat dan Sedekah sesuai PSAK 109, Medan: Wal ashri Publishing, 2013, hlm. 20
[4] Andi Soemita, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta, Kencana: cetakan ke-3 Mei 2012, Hal. 430
[5] Ibid, Hal. 26
[6] Bank Indonesia, Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia Tahun 2013, Jakarta: 2013
[8] sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/uu23zakat/diakses 17 oktober 2014

1 komentar: