Oleh: Zulfahmi Lubis
A. Amil
Zakat
Amil dalam zakat adalah semua pihak yang bertindak
mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan,
pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Mereka diangkat oleh
pemerintah dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintah
yang berwenang atau oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta
tugas lain yang berhubungan dengan zakat.
Seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang
hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang terkena kewajiban
membayar zakat dan mereka yang menjadi mustahiq, mengalihkan, menyimpan dan
menjaga serta menginvestasikan harta zakat sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam rekomendasi pertama Seminar Masalah Zakat Kontemporer
Internasional ke-3, di Kuwait.
Lembaga-lembaga dan panitia-panitia pengurus zakat yang
ada pada zaman sekarang ini adalah bentuk kontemporer bagi lembaga yang
berwenang mengurus zakat yang ditetapkan dalam syari’at Islam. Oleh karena itu,
petugas (amil) yang bekerja di lembaga tersebut harus memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan.[1]
Pengelolaan zakat di Indonesia diatur melalui
Undang-Undang no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan Zakat. Undang–undang yang
disahkan tanggal 25 November 2011 ini menggantikan Undang-undang sebelumnya
dengan no.38 tahun 1999 Tentang pengelolaan zakat.[2]
Pengaturan pengelolaan zakat melalui undang-undang
bertujuan agar zakat dikelola secara melembaga sesuai syariat Islam, amanah,
penuh kemanfaatan, berkeadilan, berkepastian hukum, terintegrasi, dan
akuntable, sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan
dalam pengelolaan zakat. Uraian-uraian dibawah ini adalah beberapa cuplikan
dari undang-undang No. 23 Tentang pengelolan Zakat.
1. Tujuan
pengelolan zakat
Pengelolaan zakat
adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkordinasia dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunan zakat. Pengelolaan zakat bertujuan untuk:
a.
Meningkatkan
efektivitas dan efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat
b.
Meningkatkan
manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan.
2. Baznas
Baznas atau Badan
Amil Zakat Nasional dan lembaga Amil Zakat atau disingkat LAZ dapat membentuk
satuan organisasi yang dinamakan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang bertugas
membantu pengumpulan zakat.[3]
Dalam melaksanakan tugasnya
Baznas menyelenggarakan fungsi:
a.
Perencanaan
pengumpulan, pendistribusian , dan pendayagunaan zakat
b.
Pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
c.
Pengendalian
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan Zakat
d.
Pelaporan
dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
3. Unit
pengumpul Zakat (UPZ)
Dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya, Baznas, Baznas provinsi,dan Baznas kabupaten/kota dapat
membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, ban usaha
milik daerah, perusahan sawasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar
negri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau nama
lainnya, dan tempat lainnya yang bertugas membantu mengumpulkan zakat.
4. Lembaga
Amil Zakat
Utuk membantu
Baznas dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan Zakat,
masyarakat dan dapat membentuk LAZ.
Pembentukan LAZ wajib mendapat ijin dari mentri atau pejabat yang
ditunjuk oleh menteri.
Persyaratan untuk mendapat izin mendirikan LAZ sebagai
berikut:
a.
Terdaftar
sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial
b.
Berbentuk
lembaga berbadan hukum
c.
Mendapat
rekomendasi dari Baznas
d.
Memiliki
pengawas Syariah
e.
Memiliki
kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya.
f.
Bersifat
nirlaba
g.
Memiliki
program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat
h.
Bersedia
diaudit syariat dan keuangan secara berkala
B. Azas
Pengelolahan Zakat
Pengelolaan Zakat
adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan
terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Bagian yang
tak terpisahkan dari pengelolaan zakat adalah Muzaki dan harta yang dizakatai, Mustahik, dan Amil.[4]
Undang-undang
pengelolaan zakat mengamanatkan agar zakat dikelola dengan berdassarkan:
a.
Syariat
Islam
b.
Amanah
c.
Keadilan
d.
Kepastian
hukum
e.
Terintegrasi
f.
Akuntabilitas
1. Benda-Benda
yang Dizakati
Zakat meliputi mal (harta) dan zakat fitrah. Adapun zakat
mal terdiri dari:
a.
Emas,
perak, dan logam mulia lainnya
b.
Uang
dan surat berharga lainnya
c.
Perniagaan
d.
Pertanian,
perkebunan, dann Peternakan
e.
Pertambangan
f.
Perindustrian
g.
Pendapatan
dan Jasa
h.
Rikaz
Menyangkut
benda-benda yang dizakati, terdapat beberapa fatwa MUI yang dipergunakan untuk
menjawab keraguan Masyrakat, yaitu:
a.
Fatwa
MUI tentang Intensifikasi pelaksanaan zakat tanggal 2 januari 1982, memuat
salah satu keputusan bahwa “Penghasilan dari jasa dapat dikenakan zakat apabila
sampai Nishab dan Haul
b.
Keputusan
Musyawarah VI MUI Provinsi Sumatera Utara tahun 2005 No. 02/KPTS/MUSDA
VI/XII/2005 tentang zakat hadiah, tanggal 3 Desember 2005, memutuskan bahwa
hadiah wajib Zakat apabila memenuhi nisab
dan haul.[5]
2. Pengumpulan
Dalam rangka pengumpulan
zakat, Muzaki melakukan penghitungan
sendiri atas kewajiban Zakatnya. Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri
kewajiban zakatnya, Muzaki dapat meminta bantuan Baznas. Zakat dibayarkan oleh
seorang Muzaki kepada Baznas atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat
digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Pengimpulan zakat
itu dilakukan tidak hanya Individu, tetapi zakat dihimpun juga dari perusahaan.
Ketentuan menghimpun zakat dari perusahaan dapat merujuk pada keputusan komisi
B-1 Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia III Tentang Masail Fiqhiyyah Mu’ashorah (Masalah
Fikih Kontemporer) terkait dengan Zakat di Padang Panjang 26 Januari 2009,
salah satu keputusan ijtima ulama ini
adalah: “perusahaan yang telah memenuhi syarat wajib pajak, wajib mengeluarkan
zakat, baik sebagai sakhshiyah
i’tibariyah ataupun sebagai pengganti (wakil) dari pemegang saham.
3. Pendistribusian
Zakat wajib
didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat islam. Pendistribusian
zakat, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip
pemerataan, keadilan, dan kewajiban.
4. Pendayagunaan
Dalam rangka
penanganan fakir miskin dan peningkatan kwalitas Umat Zakat dapat digunakan
juag dalam kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif
dilakukan apabila kebutuhan dasar Mustahik telah terpenuhi.
Hal ini zakat dapat
dilakukan dalam dua pola, yaitu pola Produktif dan juga pola konsumtif. Para
amil zakat diharapkan mampu melakukan pembagian porsi hasil pengumpulan zakat
misalnya 60% untuk zakat konsumtif, dan 40% untuk zakat produktif.
Program penyaluran
hasil pengumpulan zakat secara konsumtif bisa dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan dasar ekonomi para mustahik melalui pemberian langsung, maupun
melalui lembaga-lembaga yang mengelola fakir miskin, panti asuhan, maupun
tempat-tempat ibadah yang mendistribusikan zakat kepada masyarakat. Sedangkan
program penyaluran hasil pengumpulan zakat secara produktif dapat dilakukan
melalaui program bantuan pengusaha lemah, pendidikan gratiss dalam bentuk
besiswa, dan pelayanan kesehatan gratis.
5. Pengelolaan
Infak, sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan lainnya
BAZNAS atau LAZ tidak hanya menerima zakat, juga dapat
menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan
pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial lainnya dilakukan sesuai dengan
syariat islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh
pemberi. Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial lainnya harus dicatat
dalam pembukuan tersendiri.[6]
C. Larangan
dan Sanksi
Sebagaimana lembga
yang resmi dan diperkenankan mengelola zakat adalah BAZNAS dan LAZ, maka setiap
orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan
pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunan zakat melakukantanpa izin
pejabat pejabat yang berwenang. Setiap orang dilarang melakukan tindakan
memiliki, meminjamkan, menghibahkan, menjual, dan mengalihkan dana ZISWAF yang
ada dalam pengelolannya.[7]
Setiap orang yang
dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai
dengan ketentuan pasal 25 UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat,
dikenai sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun, atau pidana denda
Rp.500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah).
D. Pihak
yang Berkepentingan Terhadap Laporan Keuangan Zakat
1.
Pemerintah
2.
Muzaki
3.
Ulama,
Tokoh masyarakat dan Cendekiawan
4.
Akademisi,
Pelaku Riset, Lembaga Statistik
Pada Pasal 30 dan
pasal 31 UU No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, menyebutkaan bahwa
untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan anggaran pendapatan belanja
negara dan hak amil. Baznas Provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan
APBD dan hak amil, sekaligus juga dapat dibiayai dengan anggaran pendapatan dan
belanja negara. Karena itu laporan keuangan perlu disaampaikan kepada
pemerintah selaku penyedia bagi pembiayaan operasional amil zakat.[8]
[3] Saparuddin
Siregar, Akuntansi Zakat dan Sedekah
sesuai PSAK 109, Medan: Wal ashri Publishing, 2013, hlm. 20
[4] Andi
Soemita, Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah, Jakarta, Kencana: cetakan ke-3 Mei 2012, Hal. 430
[5] Ibid, Hal. 26
[6] Bank
Indonesia, Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah Indonesia Tahun 2013, Jakarta: 2013
Makalah Zakat Lengkap
BalasHapus