Rabu, 22 Mei 2013

Kaidah-Kaidah Cabang Dari Kaidah Dasar الْيَقِنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar  Belakang
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Dalam pembahasan ini pemakalah akan mencoba untuk membahas cabang-cabang kaidah Alyaqin La Yazulu Bisyakki. Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah


B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaiamana Pengertian Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak?
2.    Apa saja Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak?
3.    Bagaimana Penerapan dari Kaidah Cabang Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak
Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni :
a)      Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.
b)       Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
c)      As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
d)     Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
e)      Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.[1]
Untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui, bahwa tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :


a)      Al Yakin
Secara bahasa: mengetahui dan hilangnya keraguan. Al Yakin merupakan kebalikan dari Al Syak. Bisa disimpulkan bahwa Al Yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan yang ada tidak bisa dihilangkan oleh keraguan yang baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang sederajat.
b)     Ghalabah al Dzan
Ghalabatul al dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang salah satu lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al dzan.
c)      Al Dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan juga membuang lainnya yang lemah maka inilah yang disebut al dzan. Sedangkan jika hati berpegang pada salahsatunya dan membuang yang lain maka disebut Ghalabatul al dzan
d)      Al syak
Al syak secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al syak adalah setara antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan hati tidak condong pada salahsatunya. Sementara Al Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya seimbang, maka disebut Al Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan yang lemah disebut salah duga/al wahn.[2]
B.  Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta Contoh Penerapannya
Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak diatas kemudian dibagi menjadi kaidah-kaidah cabangnya yakni :
1.    الْأضصْلُ بَقاءُ مَاكَانَعَلَى مَاكَانَ (Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah ini semakna pula dengan مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ (Apa yang ditetapkan berdasrkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya)
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.[3]
Misal :
a)    Aminah meyakini bahwa ia telah punya wudhu (suci), tetapi kemudian ia ragum apakah sudah batal atau belum. Berdasarkan kaidah ini ia tetap dihukumi punya wudhu. Sebab, sebelumya ia yakin bahwa ia telah berwudhu. Keyakinannya tersebut tidak bisa dihilangkan denga keraguannya yang mengatakan bahwa ia telah mengalami hadas.
b)    Fandi memiliki hutang kepada Anton. Fandi kemudian mengaku bahwa ia telah membayar hutang tersebut, tetapi anton tidak mengakuinya. Dalam hal ini, Fandi tetap dihukumi punya hutang, sampai ia benar-benar mampu membuktikan bahwa dirinya telah membayar hutangnya kepada Anton.






2.    لْأَصْلُ بَرَءَةُ الذِمَّةِ (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.[4]
Misal :
a)    Anak kecil bebas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai ia baligh.
b)    Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai ada bukti adanya akad nikah yang sah.
3.    الْأَصْلُ الْعَدَمُ (Hukum asal adalah ketiadaan)
Kaidah ini dapat lebih jelas dengan kaidah الْأَصْلُ فِي الصِّفَاتِ الْعأرِضَةِ الْعَدَمُ (hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada)
Misal :
a)    Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti tidak ada. Ada pula ulama’ yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
4.    الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab madzhab Hanafi juga terdapat الْأَصْلُ إِضَفَةُ الْحأدِثِ إِلَى أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ (Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya) secara substansi sama saja.

Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahawa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh.[5]
Misal :
a).  Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi dalm keadaan hidup dan sehat. Selang bebarapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan yang terjadi pada waktu yang lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waku paling dekat dengan keamtiannya.
5.    الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
Misal :
a)    Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
Dikalangan madzhab Hanafi ada pula الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْحَظَرُ (Hukum asal segala sesuatu adalah larangan[haram])
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh mu’amalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan kaidah الْأَصْلُ فِي الْعِبَدَةِ الْمبُطْلَانُحَتَّى يَقُمَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ (Hukum asal ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya), kaidah ini semakna dengan لَاحُكْمُ لِلْأَفْعَالِ قَبْل وُرُوْدِ الشَّرْعِ (Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sampai datangnya syari’ah) dan kaidah الْمَشْكُوْكُ فِي وُجُوْبِهِ لَا يَجِبُ فِعْلُهُ (Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan).[6]

6.    الْيَقِنُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ (Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula)
Misal :
a)    Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.
b)   Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar utangnya kepada si B, misalnya ada kuitansi yang ditandatangani  si B yang menyatakan bahwa hutang A sudah lunas. Maka, si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari hutangnya.
7.    أَنْ مَاثَبَتَ يَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا يَقِيْنٍ (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.[7]
8.    الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Kaidah teresebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah fiqh. Alasannya, kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah bahasa berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.[8]
Misal :
a)    Apabila seseorang berkata:”Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad”. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya di dalam akad harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan arti kiasannya.
9.    الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal bersenggama adalah haram)
Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa menghalalkannya, yakni pernikahan.[9]
Misal :
a)    Arfan ragu mengenai sah tidaknya akad nikahnya dengan Ani. Karena Arfan meragukan salah satu dari syarat nikah, maka ia tidak boleh berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum asal melakukan hubungan badan adalah haram.
Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubuingan dengan “Al Yaqin la Yuzal bi al-Syak”, yakni sebagai berikut :
10.     لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)
Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor atau penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka yang jelas salahnya.
11.     لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ (Tidak  diakui adanya wahan[kira-kira])
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan dalam wahann, yangsalah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang dikira-kira.[10]






BAB III
KESIMPULAN

Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak (Keyakinan tidak bisa dihapus dengan keraguan) memiliki dua kata dasar yang utama yakni al-Yaqin yang berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya, sedangkan al-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan tingkat daya hati dalam menangkap sesuatu ada empat yakni Al Yakin, Ghalabah al Dzan, Al Dzan dan Al syak.
Sedangkan Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak dibagi menjadi sebagai berikut :
a)   الْأضصْلُ بَقاءُ مَاكَانَعَلَى مَاكَانَ (Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
b)   لْأَصْلُ بَرَءَةُ الذِمَّةِ (Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
c)    الْأَصْلُ الْعَدَمُ (Hukum asal adalah ketiadaan)
d)   الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ (Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)
e)    الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ (Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya)
f)    الْيَقِنُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ (Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula)
g)   أَنْ مَاثَبَتَ يَقِيْنٍ لَا يُرْتَفَعُ إِلَّا يَقِيْنٍ (Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
h)   الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
i)     الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيْمُ (Hukum asal bersenggama adalah haram)
j)     لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ (Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)
k)   لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ (Tidak  diakui adanya wahan[kira-kira])


DAFTAR PUSTAKA


Abbas, Ahmad Suddirman,” Qawa’id fiqhiyyah, dalam prespektif fiqh”,(Online),( http:// ibutina.com/2010/05/qa'idah-fiqhiyyah-kedua/),diakses tanggal 11 April 2011.
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad.Falsafah Hukum Islam.Semarang:Pustaka Rizki Putra,2001.
Burhanuddin.Fiqih Ibadah.Bandung:Pustaka Setia,2001.
Djazuli, A.Kaidah-Kaidah Fikih:Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis.Jakarta:Kencana,2006.
Fadal, Kurdi.Kaidah-Kaidah Fikih.Jakarta:Arta Rivera,2008.
Rohana, Ade.Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah:Kaidah-kaidah Hukum Islam.Jakarta:Gaya Media Pratama,2008.
Saebani, Beni Ahmad.Filsafat Hukum Islam.Bandung:Pustaka Setia,2007.



[2] Ahmad Suddirman Abbas,” Qawa’id fiqhiyyah, dalam prespektif fiqh”,http://ibutina.com/2010/05/ qa'idah-fiqhiyyah-kedua/,17-05-2010,diakses tanggal 11 April 2011.
[3] Kurdi Fadal.Kaidah-kaidah Fikih(Jakarta Barat:Artha Rivera,2008),36.
[4] A Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih:Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis(Jakarta:Kencana,2006),48.
[5] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.,51.
[6] Ibid,52.
[7] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.,48.
[8] Ibid,53.
[9]  Fadal.Kaidah-kaidah.,47.
[10] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih.,54.

1 komentar: