BAB I
PENDAHULUAN
Pelayanan publik dasar merupakan hak konstitusi warga, yang
telah dipertegas oleh UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Namun hingga
kini persoalan pelayanan publik di Indonesia tetap bagaikan gunung es
yang tidak bisa mencair. Mulai dari masalah pendidikan dan kesehatan yang makin
mahal tapi buruk yang menutup akses bagi kelompok rentan hingga masalah
pengurusan dokumen yang berbelit-belit walaupun hal tersebut merupakan bagian
dari hak warga untuk mendapatkan pengakuan identitas sebagai warga negara.
Kualitas pelayanan publik kita saat ini masih jauh dari
harapan. Setidaknya terdapat tiga permasalahan mendasar dalam pelayanan publik
di Indonesia yang perlu mendapatkan sorotan. Hal yang paling banyak dikeluhkan
oleh warga adalah terkait pelayanan perizinan, informasi pengadaan barang dan
jasa, dan rekrutmen pegawai negeri sipil. Kasus-kasus seperti itu, banyak
terjadi di daerah. Hingga saat ini daerah yang mendapat rapor merah untuk
pelayanan publiknya adalah provinsi DKI Jakarta disusul Provinsi Jawa Barat dan
Jawa Timur, sedangkan sisanya adalah daerah di luar Pulau Jawa Menurut Danang
Girindrawardana Ketua Ombudsman dalam (Sindo Weekly: 18 Juli 2012).
Buruknya kualitas pelayanan publik di Indonesia karna pola
pikir pegawai negeri sipil yang masih ingin dilayani menjadi salah satu
penyebab buruknya pelayanan publik. Mayoritas disebabkan oleh sumber daya
manusia yakni pola pikir yang masih ingin dilayani, padahal seharusnya dia
menjadi pelayan bagi masyarakat. Pegawai negeri sipil yang mempunyai pola pikir
masih ingin dilayani, memperburuk pelayanan publik meskipun sarana dan
prasarana sudah baik.
Ada yang masih berpendapat bahwa mengukur kualitas pelayanan
publik tidak bisa dengan menggunakan alat untuk mengukur kualitas pelayanan di
sektor swasta. Mereka yang berpendapat seperti ini secara tegas mendikotomi
pelayanan sektor publik dan swasta karenanya membedakan cara mengukur kualitas
pelayanan di kedua sektor tersebut. Ada beberapa orang berpendapat paradigma
dikotomis seperti itu tidak dapat terus menurus digunakan. Menurut Wasistiono
dalam (Ndraha: 2003) kedua sektor tersebut sama-sama menjalankan pelayanan
tetapi dengan motivasi yang berbeda.
Sektor pemerintahan memberi pelayanan dalam rangka mencari
dukungan sedangkan sektor swasta memberikan pelayanan dalam rangka mencari
untung. Meskipun secara teoritis batas antara keduanya dari waktu ke waktu
menjadi semakin kabur. Bahkan Ingraham (1994) secara ekplisit menyarankan agar
sektor pemerintah belajar dari sektor swasta yang sukses.[1]
Negara Amerika mulai menyadari konsep mutu dan pengendalian
mutu dimulai dari industri yang memproduksi senjata dan peralatan militer pada
perang dunia kedua dan secara konsisten ditangani oleh militer yang telah
distandarkan dalam MIL-Q-5923 dan kemudian MIL-Q-9858. Setelah kalah perang
Jepang mulai lagi membangun negaranya dengan mempelajari konsep pengendalian
mutu di negara negara barat terutama Amerika, pada tahun 1950 Dr. Edwards
Deming dari amerika datang ke Jepang untuk memperkenalkan teknik teknik
pengendalian mutu produk. Masyarakat industri dan ilmuan Jepang sangat antusias
untuk membangun kembali negaranya dari kekalahan perang dunia kedua, sehingga
pengendalian mutu dikembangkan dari teknik pengendalian mutu produk ke teknik
perbaikan mutu produk yang jauh meninggalkan sistem pengendalian mutu Amerika
dan eropa, dan lebih jauh kepada teknik perbaikan semua aspek operasional
perusahaan menjadi pengendalian mutu Terpadu (TQC) yang pada akhirnya sekarang
dikenal sebagai Manajeman Mutu Terpadu (TQM) menurut (Darwis: 2000).
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas maka
banyak perusahaan menerapkan konsep yang dikenal dengan TQM (Total Quality
management) yaitu manajemen mutu keseluruhan di dalam sebuah organisasi
yang menjadikannya unggul dalam semua aspek produk barang dan jasa yang penting
bagi konsumen atau masyarakat.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Total Quality Management Menurut Para
Ahli
Ada kebutuhan mendesak untuk memperbaiki mutu (kualitas)
disegala jenis organisasi, termasuk organisasi publik maupun organisasi swasta.
Perkembangan mutu terpadu pada mulanya sebagai suatu sistem dikembangan di
Amerika Serikat. Buah pikiran mereka pada mulanya kurang diperhatikan oleh
masyarakat, khususnya masyarakat bisnis. Namun, beberapa dari mereka merupakan
pemegang kunci dalam pengenalan dan pengembangan konsep mutu.
Sejak 1980 keterlibatan mereka dalam manajemen terpadu telah
dihargai di seluruh dunia. Adapun konsep-konsep tentang mutu terpadu menurut
(Darwis:2000) secara garis besar dapat dikemukakan berikut ini:
1.
F.W. Taylor (1856-1915)
Seorang insiyur mengembangkan satu
seri konsep yang merupakan dasar dari pembagian kerja (devision of work).
Analisis dengan pendekatan gerak dan waktu (time and motion study) untuk
pekerjaan manual memperoleh gelar “Bapak Manajemen Ilmiah” (The Father of
Scientific Management). Dalam bukunya tersebut Taylor menjelaskan beberapa
elemen tentang teori manajemen, yaitu sebagai berikut;
a)
Setiap
orang harus mempunyai tugas yang jelas dan harus diselesaikan dalam satu hal
b)
Pekerjaan
harus memiliki peralatan yang standar untuk menyelesaikan tugas yang menjadi
bagiannya.
c)
Bonus
dan intensif wajar diberikan kepada yang berprestasi maksimal.
d)
Penalti
yang merupakan kerugian bagi pekerjaan yang tidak mencapai sasaran yang telah
ditentukan (personal loss).
Taylor memisahkan perencanaan dari perbaikan kerja. Dengan
demikian, dia memisahkan pekerjaan dari tanggung jawab untuk memperbaiki kerja.
2. Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U.
Mengatakan bahwa Total Quality Management
merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk
memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas
produk, jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya.
3.
Shewart (1891-1967)
Seorang ahli statistik yang bekerja
pada “Bell Labs” selama periode 1920-1930. Dalam bukunya The Economic Control
of Quality Manufactured Products, diperoleh suatu kontribusi yang menonjol
dalam usaha untuk memperbaiki mutu barang hasil pengolahan. Dia mengatakan
bahwa variasi terjadi pada setiap segi pengolahan dan variasi dapat dimengerti
melalui penggunaan alat statistik yang sederhana.Sampling dan probabilitas
digunakan untuk membuat control chart untuk memudahkan para pemeriksa mutu,
untuk memilih produk mana yang memenuhi mutu dan tidak. Penemuan Shewhart
sangat menarik bagi Deming dan Juran, yaitu kedua sarjana ahli dalam bidang
statistik.
4.
Edward Deming
Lahir tahun 1900 dan mendapat Ph. D.
pada 1972 sangat menyadari bahwa ia telah memberikan pelajaran tentang
pengendalian mutu secara statistik kepada para insinyur bukan kepada para
manajer yang mempunyai wewenang untuk memutuskan. Katanya “Quality is not
determined on the shop floor but in the executive suite”. Pada 1950 beliau
diundang oleh “The Union to Japanese Scientists and Engineers (JUSE)” untuk
memberikan ceramah tentang mutu. Pendekatan Deming dapat disimpulkan sebagai
berikut.
a) Quality is primarily the result of
senior management actions and not the results of actions taken by workers.
b) The system of work that determines
how work is performed and only managers cancreate system.
c) Only manager can allocate resources,
provide training to workers, select the equipment and tools that worekers use,
and provide the plant and environment necessary to achieve quality.[3]
d) Only senior managers determine the
market in which the firm will participate and what product or service will be
solved.
Hal ini berarti bahwa tanpa
keterlibatan pimpinan secara aktif tidak mungkin tercapai manajemen mutu
terpadu.
5. Prof.
Juran
Ia mengunjungi Jepang pada tahun
1945. Di Jepang Juran membantu pimpinan Jepang di dalam menstrukturisasi
industri sehingga mampu mengekspor produk ke pasar dunia. Ia membantu Jepang
untuk mempraktikkan konsep mutu dan alat-alat yang dirancang untuk pabrik ke
dalam suatu seri konsep yang menjadi dasar bagi suatu “management process” yang
terpadu. Juran mendemonstrasikan tiga proses manajerial untuk mengelola
keuangan suatu organisasi yang dikenal dengan trilogy Juran, yaitu finance
planning, financial control, financial improvement. Adapun perincian trilogi
itu sebagai berikut.
a)
Quality
planning, yaitu suatu proses yang mengidentifikasi pelanggan dan proses yang
akan enyampaikan produk dan jasa dengan karakteristik yang tepat dan kemudian
mentransfer pengetahuan ini ke seluruh kaki tangan perusahaan guna memuaskan
pelanggan.
b)
Quality
control, yaitu suatu proses di mana produk benar-benar diperiksa dan
dievaluasi, dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan para
pelanggan. Persoalan yang telah diketahui kemudian dipecahkan, misalnya
mesin-mesin rusak segera diperbaiki.
c)
Quality
improvement, yaitu suatu proses di mana mekanisme yang sudah mapan
dipertahankan sehingga mutu dapat dicapai berkelanjutan. Hal ini meliputi
alokasi sumber-sumber, menugaskan orang-orang untuk menyelesaikan proyek mutu,
melatih para karyawan yang terlibat dalam proyek mutu, dan pada umumnya
menetapkan suatu struktur permanen untuk mengejar mutu dan mempertahankan apa
yang telah dicapai sebelumnya.
Uraian tokoh-tokoh mutu di atas sekadar menggambarkan secara
singkat saja. Masih banyak sarjana di bidang mutu yang tidak sempat ditulis
pada kesempatan ini. Yang jelas para sarjana tersebut sependapat bahwa konsep
“pentingnya perbaikan mutu secara terus-menerus bagi setiap produk walaupun
teknik yang diajarkan berbedabeda”.
Kini sampailah pada pengertian mutu yang diambil dari
“America Society for Quality Control” yang mengatakan Quality is the totality
of features and characteristics of a product or service that bear on its
ability to satisty stated of implied needs (Kotler : 1994). Definisi di atas
berkonotasi kepada pelanggan. Produk bermutu kalau dapat memuaskan para
pelanggan yang mengkonsumsi produk tersebut.[4]
B.
Total
Quality Managemant (TQM)
Total
Quality Management (TQM) merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada
pelanggan dengan memperkenalkan perubahan manajemen secara sistematik dan
perbaikan terus menerus terhadap proses, produk, dan pelayanan suatu
organisasi. Proses Total Quality Management bermula dari pelanggan dan berakhir
pada pelanggan pula.[5]
Sistem TQM
diarahkan oleh pengidentifikasian dan pemuasankebutuhan pelanggan. TQM merawat
pelanggan. Karenanya, defenisi Kualitas (quality) sebagaimana yang diambil oleh
Amirican Society for Quality adalah: “Keseluruhan fitur dan karakteristik
produk atau jasa yang mampu memuaskan kebutuhan yang terlihat atau yang
tersamar”.[6]
Manajemen Mutu Keseluruhan (TQM) menunjukkan bahwa prinsip
dan praktek harus menjadi pertimbangan dasar ketika memfokuskan kembali
perhatian nasional pada tantangan tahun 1990-an dan seterusnya. Tidak ada yang
kurang dari perangkat tambahan budaya besar Amerika diperlukan untuk
mempertahankan dan meningkatkan standar hidup yang diinginkan oleh kebanyakan
orang Amerika.
TQM memperkuat filosofi positif, nilai-nilai, perilaku, dan
norma-norma akademisi pengembangan organisasi dan praktisi telah lama dikenal
untuk menjadi signifikan dalam mencapai kepuasan karyawan dan kinerja
organisasi. TQM (Total Quality management) yaitu manajemen mutu
keseluruhan di dalam sebuah organisasi yang menjadikannya unggul dalam semua
aspek produk barang dan jasa yang penting bagi konsumen atau masyarakat.[7]
Perbedaan TQM dengan program program sebelumnya menurut
Rudolph dalam Montgomery (2007:75).
1.
Fokus pada kepuasan pelanggan, produk dan jasa.
2.
Mengakui kualitas sebagai keberadaan nilai dari pada tidak adanya cacat.
3.
Manajemen puncak partisipasi, arahan, dan dukungan.
4.
Keterlibatan karyawan dan tanggung jawab.
5.
Efektif dan komunikasi yang baru.
6.
Lintas-fungsional orientasi dan kerja sama tim.
7. Analisis sistem manajemen dan
prosedur menggunakan standar, ukuran, dan teknik statistik dasar.
8.
Sebuah komitmen jangka panjang untuk perbaikan proses yang
berkesinambungan.
9.
Penghargaan dan pengakuan atas kinerja.
10.
Pelatihan tenaga kerja kesadaran, manajemen, keterampilan.
11.
Mencapai disiplin organisasi untuk berlatih perilaku baru setiap hari,
selamanya.
12.
Mengembangkan budaya organisasi pendukung.
Penekanan dalam TQM adalah pada perilaku ketimbang sikap,
partisipasi dari pada pengamatan, pengukuran dari pada menebak, integrasi bukan
pemisahan, beberapa pendekatan dari pada satu cara yang benar, penghargaan dari
pada menghukum, motivasi bukan apatis, tumbuh dari pada stagnan, melakukan
lebih dari pada berkata, dan menang / menang dari pada menang / kalah.[8]
C. Hambatan Penerapan TQM di Indonesia
Hasil analisis
menunjukan ketidaksempurnaan penerapan praktik TQM dan infrastruktur yang
mendukung penerapan praktiktersebut. Secara umum ada beberapa sebab yang
memungkinkan keadaan tersebut:
1.
Kurangnya komitmen dari manajemen
puncak. Hal ini ditunjukan dengan dukungan manajemen puncak hanya berpengaruh
signifikan terhadap manajemen Arus Proses. Hal ini menunjukan manajemen belum
menganggap proses produksi merupakan proses yang berhubungan dengan
proses-proses yang lain, sehingga hanya memusatkan dukungan ke manajemen proses
produksi saja.
2.
Kurangnya pengetahuan tentang konsep
TQM. Hal ini ditunjukkan dengan sikap kerja yang hanya berpengaruh terhadap proses
desain produk. Kurangnya pengetahuan tentang konsep TQM akan mempersulit
pekerja untuk menerima dan menerapkan konsep tersebut (Santosa, 1988).
3.
Budaya organisasi kurang mendukung
penerapan TQM. Hal ini ditunjukkan oleh organisasi belum. memandang perlunya
untuk menjalin hubungan jangka panjang baik dengan pelanggan maupun dengan
pemasok (Bounds et al, 1994). Ini menunjukkan organisasi di Indonesia belum
sepenuhnya berfokus pada pelanggan dan menjalin hubungan dengan pemasok. [9]
4.
Ketidaksempurnaan penerapan praktik
TQM. Ini bisa disebabkan oleh adanya kekhawatiran pekerja mengenai adanya
kemungkinan down-sizing. Jika penerapan praktik TQM ini dapat meningkatkan
efisiensi maka akan banyak tenaga kerja, terutama yang tidak memiliki
kompetensi yang tinggi mungkin tidak diperlukan lagi oleh organisasi (Kolesar,
1995).
5.
Pekerja takut menunjukkan
kesalahan/menyebunyikan kesalahan yang terjadi. Ini ditunjukkan oleh sikap
kerja dari karyawan yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
Statistical Control/feedback (Kolesar, 1995).
6.
Peran pemerintah yang kurang mendukung
penerapan manajemen kualitas total. Hal ini terbukti dari adanya begitu banyak
politik KKN di Indonesia. Selain itu, Herudi Kartowisastro, Kepala Badan
Standarisasi Nasional dalam wawancara dengan kompas tanggai 14 Januari 2000
berpendapat bahwa pemerintah Indone¬sia belum menetapkan standar mutu yang
wajib bagi barang-barang yang beredar di pasaran (lokal maupun impor). Hal ini
mengakibatkan banyak barang industri yang tidak sesuai dengan standar nasional.
Pembahasan
terhadap hasil analisis diatas akan dilakukan sebagaimana disajikan dengan urutan pembahasan sebagai berikut: hasil analisis deskriptif yang
digunakan untuk mengetahui komitmen organisasi-organisasi manufaktur di
Indonesia tentang kualitas total (TQM), hasil analisis uji beda antara organisasi
manufaktur BUMN dan
Non BUMN terhadap komitmen kualitas total dan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja baik organisasi manufaktur BUMN maupun Non BUMN.
Jika melihat
hasil perhitungan rerata komitmen organisasi-organisasi manufaktur terhadap
pengembangan kualitas total, komitmen tertinggi pada dimensi manajemen
manusia dan pelanggan, yang kedua adalah orientasi kepuasan pelanggan serta
budaya kualitas organisasi dan yang ketiga , sistem pengukuran perbaikan
kualitas. Sedangkan aspek penunjang partnership dengan pemasok, komunikasi pengembangan
informasi, hubungan manajemen dengan pihak eksternal, manajemen kualitas
strategik, struktur teamwork untuk pengembangan dan perencanaan
kualitas operasional pada umumnya penerapan dimensi kulitas total sudah cukup
baik. Jika inti TQM ada tiga yaitu
kepuasan pelanggan, perbaikan terus menerus dan pemberdayaan karyawan, maka
perbaikan terus menerus masih kurang diperhatikan dibanding aspek yang lain, hal lain terbukti dengan
nilai rerata yang paling rendah. Sedangkan untuk kepuasan pelanggan
dan pemberdayaan karyawan sudah cukup baik.
Dalam hal ini
berarti organisasi-organisasi manufaktur yang ada di Indonesia memandang bahwa
manajemen manusia dan pelanggan merupakan faktor penting dalam menerapkan
kualitas total, sehingga
kualitas total yang
berorientasi kepuasan pelanggan mungkin terhambat dalam lingkungan dimana
manajemen manusia dan pelanggan itu rendah. Itu mungkin sebabnya
organisasi-organisasi manufaktur di Indonesia mengimplementasikan kualitas total yang pertama
untuk memperbaiki kepuasan kerja. Fokus uatama bagi manajer pada manajemen
manusia dan pelanggan mungkin berhubungan dengan perkembangan kesempatan kerja
dan keamanan kerja.
Hasil ini
mendukung analisis yang dilakukan oleh Rubenstein (1993) yang hasilnya
mengatakan bahwa organisasi-organisasi Jepang membuat komitmen jangka panjang
pekerja mereka dan menggunakan training sebagai altematif terhadap pemutusan
hubungan kerja karena ketidaknyamanan kerja akan berpengaruh terhadap kepuasan
pekerja yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai jasa yang dihantarkan ke
konsumen. Hal ini nampak bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kepuasan
konsumen. Hal yang serupa juga dihasilkan oleh analisis oleh Madu et.al dimana organisasi Taiwan
menfokuskan pada kepuasan pekerja atau manajemen manusia dan pelanggan.
Untuk dimensi
orientasi kepuasan pelangga bukan nilai tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
organisasi-organisasi manufaktur Indonesia belum sadar bahwa kepuasan pelanggan
akan menjamin profitabilitas dan kelangsungan hidup organisasi serta lebih jauh
lagi yaitu pencapaian keunggulan bersaing.
Keunggulan dalam
bersaing yang kuat berasal dari kemampuan organisasi dalam memenuhi kepuasan dan keinginan konsumen dalam
memenuhi kebutuhannya. Sehingga hal ini perlu menjadi perhatian bagi
organisasi-organisasi manufaktur yang ada di Indonesia untuk meningkatkan pada
komitmennya dalam memenuhi kepuasan pelanggan. Walaupun budaya organisasi yang
berorientasi ke kepuasan pelanggan adalah sulit untuk dibangun, namun tidak
berarti tidak mungkin. Pola pikir kepuasan konsumen dapat dibangun melalui
usaha bersistem, antara lain melalui pendidikan dan pengalaman, manajemen
puncak dapat menanamkan kepuasan pelanggan ke dalam diri seluruh personal
organisasi. Manajemen puncak dapat mengkomunikasikan pola pikir kepuasan
pelanggan melalui personal
behazrior dan operational
behavior. Pengenalan yang tidak kenal lelah dapat tumbuh
di dalam diri sebagian besar personal organisasi. Hal ini perlu sekali
dilaksanakan karena disebabkan sebaik apapun teknik pengembangan dan manajemen
yang dijalankan, jika tidak memperhatikan konsumen maka organisasi akan
mengarah ke dalam lubang kehancuran.
Apabila analisis
diperluas dengan membandingkan antara organisasi-organisasi manufaktur BUMN dan
Non BUMN, ternyata secara umum terdapat perbedaan dalam ha 1 pengembangan
kualitas total. Dari hasil analisis uji-t, perbedaan tersebut terdapat dalam
dimensi partnership dengan pemasok, komunikasi pengembangan informasi,
orientasi kepuasan pelanggan, hubungan manajemen dengan pihak eksternal, manajemen
kualitas strategik, struktur teamwork untuk pengembangan dan sistem pengukuran
pengembangan kualitas. Sedangkan yang tidak berbeda hanya pada dimensi
manajemen manusia dan pelanggan, manajemen kualitas strtategik, perencanaan
kualitas operasional dan budaya kualitas korporat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara
organisasi-organisasi manufaktur BUMN dengan Non BUMN dalam memenuhi dimensi
kualitas total dikatakan cukup bukti untuk dikatakan berbeda. Dari hasil uji
dimensi kualitas organisasi-organisasi manufaktur BUMN dan Non BUMN dalam
memenuhi dimensi kualitas organisasi manufaktur Non BUMN lebih tinggi
komitmennya terhadap manajemen kualitas total dibandingkan dengan organisasi
manufaktur BUMN.
Kekuatan ekonomi
global menyebabkan dunia usaha, terutana BUMn perlu melakukan tinjauan ulang
terhadap struktur dan strategi usaha serta mengandalkan strategi manajemen yang
berbasis efisiensi biaya dalam hal ini perlu memperhatikan dimensi kualitas
'total. Dalam menghadapi tersebut BUMN dituntut untuk melakukan repositioning dalam arti
menyesuaikan strategi bisnis secara menyeluruh atau total terhadap perubahan
lingkungan. Pembenahan ini meliputi hal yang berkaitan dengan sumber daya
material yang bersifat tangible seperti fisik
dan finansial dan yang bersifat non material seperti manajemen, sistem goodwill dan teknologi.
Pembenahan juga meliputi sumber daya manusia seperti keterampilan, pengetahuan,
motivasi dan kemampuan komunikasi.[10]
Selain hal
tersebut persoalan BUMN yang mempunyai komitmen terhadap kualitas total yang rendah
kemungkinan disebabkan oleh
1.
Adanya hambatan-hambatan birokrasi, campur tangan pemerintah yang terlalu jauh seringkah menyulitkan pengelola
BUMN. Sedangkan disisi lain sebagai organisasi bisnis BUMN dituntut
untuk meraih profit setinggi- tingginya.
2.
Adanya ketentuan dan peraturan yang menyangkut
ketentuan dan peraturan yang menyebabkan berkurangnya kewenangan pengelola BUMN
dalam mengambil keputusan. Hal ini menyebabkan gerak langkah yang diambil tidak
lincah apalagi dikaitkan dengan era informasi dimana kelambanan dalam merespon
suatu gejala dapat berarti hilangnya suatu opportunity bisnis.
3.
Menyangkut masalah misi ganda yang diemban
BUMN yaitu profitisasi sekaligus misi sosial, sering tujuan fungsi sosial
dijadikan alasan untuk membela diri apabila BUMN merugi. Misi ganda ini
menghilangkan insentif yang dapat memberi motivasi bagi manajer BUMN untuk
berprestasi optimal.
Selain masalah eksternal tersebut terdapat juga masalah internal dalam
budaya dan mentalitas dalam lingkungan usaha BUMN.
Dalam lingkungan
BUMN banyak ditemukan sikap oportunis yang mementingkan diri sendiri sedangkan
sikap yang mendorong inovasi kurang diberikan suasana yang kondusif (Suwadi,
1999). Perlu diketahui bahwa situasi bisnis dunia yang dituntut sikap
profesional merupakan tuntutan yang mendesak.[11]
BAB
III
PENUTUP
v Kesimpulan
1.
Penerapan TQM membutuhkan dukungan dari infrastruktur organisasi.
Tanpa adanya infrastrukur yang dapat mendukung, penerapan TQM menjadi sulit dan tidak dapat mendukung kinerja
organisasi.
2.
Penerapan TQM di Indonesia masih bersifat partial.
Hal ini memerlukan perhatian dari pihak organisasi. TQM merupakan konsep yang hanya akan berhasil jika
diterapkan sebagai sistem yang menyeluruh (total) tidak hanya diterapkan pada suatu area atau program
tertentu. TQM juga harus diintegrasikan ke dalam strategi yang lebih
dalam organisasi, bersifat a cross
functions, melibatkan seluruh
pekerja (dari manajemen puncak sampai tingkat terendah dalam organisasi) dan
melibatkan pihak pelanggan (customer chain) maupun
pemasok (Supply
chain).
3.
Tidak adanya variabel proses desain produk mempengaruhi kinerja kualitas
organisasi, menunjukkan bahwa perlu dilaklukan perbaikan dalam proses desain produk. Proses desain hendaknya melibatkan pekerja produksi,
pelanggan dan pemasok.
v Saran:
Dalam makalah ini penulis menyarankan agar Total Quality Management di
Indonesia hendaknya dijalankan dengan sebaik mungkin, mengingat begitu
pentingnya peran dan fungsi TQM dalam rangka pencapaian tujuan yang ditetapkan
organisasi. Perkembangan Kinerja manusia perlu menjadi perhatian utama bagi
Perusahaan, dalam rangka melakukan manajemen Mutu terpadu secara menyeluruh dalam
organisasi.
Daftar Pustaka
George Terry, Dasar-Dasar
Manajemen. (Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
Heizer Jay-Barry Render, Operations Management (Jakarta:
Salemba Empat, 2006)
Ismanto, Manajemen Syari’ah Implementasi TQM dalam Lembaga Keuangan
Syari’ah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Nogi, Hessel Tangkilisan, Manajemen Modern untuk Sektor
Publik, (Yogyakarta: BPFE, 2003)
Vincent Gaspersz, Total Quality Management. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005)
Website:
http://blog.dhanay.com
http://cheesterzone.blogspot.com
http://damasmart.wordpress.com
http://www.referensimakalah.com
[1] George Terry, Dasar-Dasar
Manajemen. (Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
[2]
Vincent Gaspersz, Total Quality
Management. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005)
[3]http://blog.dhanay.com/2010/11/definisi-tqm-total-quality-management.html/Diakses
pada tanggal 30/9/2013
[4]http://damasmart.wordpress.com/2012/09/20/pelaksanaan-total-quality-management-tqm-di-indonesia/
Diakses pada tanggal 30/9/2013
[5]http://www.referensimakalah.com/2013/02/pengertian-total-quality-management-tqm.html/Diakses
pada tanggal 30/9/2013
[7] Ismanto, Manajemen Syari’ah Implementasi TQM dalam Lembaga Keuangan Syari’ah.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
[9]
http://cheesterzone.blogspot.com/2011/10/hambatan-implementasi-tqm-di-indonesia.html/Diakses
pada tanggal 30/9/2013
Thanks mas lubis :)
BalasHapussusah dibaca mas, backgroundnya yg wajar aja
BalasHapus