Selasa, 22 Oktober 2013

Hambatan Penerapan TQM (Total Quality Management) di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
Pelayanan publik dasar merupakan hak konstitusi warga, yang telah dipertegas oleh UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Namun hingga kini persoalan pelayanan publik di Indonesia tetap bagaikan gunung es yang tidak bisa mencair. Mulai dari masalah pendidikan dan kesehatan yang makin mahal tapi buruk yang menutup akses bagi kelompok rentan hingga masalah pengurusan dokumen yang berbelit-belit walaupun hal tersebut merupakan bagian dari hak warga untuk mendapatkan pengakuan identitas sebagai warga negara.
Kualitas pelayanan publik kita saat ini masih jauh dari harapan. Setidaknya terdapat tiga permasalahan mendasar dalam pelayanan publik di Indonesia yang perlu mendapatkan sorotan. Hal yang paling banyak dikeluhkan oleh warga adalah terkait pelayanan perizinan, informasi pengadaan barang dan jasa, dan rekrutmen pegawai negeri sipil. Kasus-kasus seperti itu, banyak terjadi di daerah. Hingga saat ini daerah yang mendapat rapor merah untuk pelayanan publiknya adalah provinsi DKI Jakarta disusul Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, sedangkan sisanya adalah daerah di luar Pulau Jawa Menurut Danang Girindrawardana Ketua Ombudsman dalam (Sindo Weekly: 18 Juli 2012).
Buruknya kualitas pelayanan publik di Indonesia karna pola pikir pegawai negeri sipil yang masih ingin dilayani menjadi salah satu penyebab buruknya pelayanan publik. Mayoritas disebabkan oleh sumber daya manusia yakni pola pikir yang masih ingin dilayani, padahal seharusnya dia menjadi pelayan bagi masyarakat. Pegawai negeri sipil yang mempunyai pola pikir masih ingin dilayani, memperburuk pelayanan publik meskipun sarana dan prasarana sudah baik.
Ada yang masih berpendapat bahwa mengukur kualitas pelayanan publik tidak bisa dengan menggunakan alat untuk mengukur kualitas pelayanan di sektor swasta. Mereka yang berpendapat seperti ini secara tegas mendikotomi pelayanan sektor publik dan swasta karenanya membedakan cara mengukur kualitas pelayanan di kedua sektor tersebut. Ada beberapa orang berpendapat paradigma dikotomis seperti itu tidak dapat terus menurus digunakan. Menurut Wasistiono dalam (Ndraha: 2003) kedua sektor tersebut sama-sama menjalankan pelayanan tetapi dengan motivasi yang berbeda.
Sektor pemerintahan memberi pelayanan dalam rangka mencari dukungan sedangkan sektor swasta memberikan pelayanan dalam rangka mencari untung. Meskipun secara teoritis batas antara keduanya dari waktu ke waktu menjadi semakin kabur. Bahkan Ingraham (1994) secara ekplisit menyarankan agar sektor pemerintah belajar dari sektor swasta yang sukses.[1]
Negara Amerika mulai menyadari konsep mutu dan pengendalian mutu dimulai dari industri yang memproduksi senjata dan peralatan militer pada perang dunia kedua dan secara konsisten ditangani oleh militer yang telah distandarkan dalam MIL-Q-5923 dan kemudian MIL-Q-9858. Setelah kalah perang Jepang mulai lagi membangun negaranya dengan mempelajari konsep pengendalian mutu di negara negara barat terutama Amerika, pada tahun 1950 Dr. Edwards Deming dari amerika datang ke Jepang untuk memperkenalkan teknik teknik pengendalian mutu produk. Masyarakat industri dan ilmuan Jepang sangat antusias untuk membangun kembali negaranya dari kekalahan perang dunia kedua, sehingga pengendalian mutu dikembangkan dari teknik pengendalian mutu produk ke teknik perbaikan mutu produk yang jauh meninggalkan sistem pengendalian mutu Amerika dan eropa, dan lebih jauh kepada teknik perbaikan semua aspek operasional perusahaan menjadi pengendalian mutu Terpadu (TQC) yang pada akhirnya sekarang dikenal sebagai Manajeman Mutu Terpadu (TQM) menurut (Darwis: 2000).
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas maka banyak perusahaan menerapkan konsep yang dikenal dengan TQM (Total Quality management) yaitu manajemen mutu keseluruhan di dalam sebuah organisasi yang menjadikannya unggul dalam semua aspek produk barang dan jasa yang penting bagi konsumen atau masyarakat.[2]

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Total Quality Management Menurut Para Ahli
Ada kebutuhan mendesak untuk memperbaiki mutu (kualitas) disegala jenis organisasi, termasuk organisasi publik maupun organisasi swasta. Perkembangan mutu terpadu pada mulanya sebagai suatu sistem dikembangan di Amerika Serikat. Buah pikiran mereka pada mulanya kurang diperhatikan oleh masyarakat, khususnya masyarakat bisnis. Namun, beberapa dari mereka merupakan pemegang kunci dalam pengenalan dan pengembangan konsep mutu.
Sejak 1980 keterlibatan mereka dalam manajemen terpadu telah dihargai di seluruh dunia. Adapun konsep-konsep tentang mutu terpadu menurut (Darwis:2000) secara garis besar dapat dikemukakan berikut ini:
1.        F.W. Taylor (1856-1915)
Seorang insiyur mengembangkan satu seri konsep yang merupakan dasar dari pembagian kerja (devision of work). Analisis dengan pendekatan gerak dan waktu (time and motion study) untuk pekerjaan manual memperoleh gelar “Bapak Manajemen Ilmiah” (The Father of Scientific Management). Dalam bukunya tersebut Taylor menjelaskan beberapa elemen tentang teori manajemen, yaitu sebagai berikut;
a)      Setiap orang harus mempunyai tugas yang jelas dan harus diselesaikan dalam satu hal
b)      Pekerjaan harus memiliki peralatan yang standar untuk menyelesaikan tugas yang menjadi bagiannya.
c)      Bonus dan intensif wajar diberikan kepada yang berprestasi maksimal.
d)     Penalti yang merupakan kerugian bagi pekerjaan yang tidak mencapai sasaran yang telah ditentukan (personal loss).
Taylor memisahkan perencanaan dari perbaikan kerja. Dengan demikian, dia memisahkan pekerjaan dari tanggung jawab untuk memperbaiki kerja.
2.      Drs. M.N. Nasution, M.S.c., A.P.U.
Mengatakan bahwa Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses, dan lingkungannya.
3.        Shewart (1891-1967)
Seorang ahli statistik yang bekerja pada “Bell Labs” selama periode 1920-1930. Dalam bukunya The Economic Control of Quality Manufactured Products, diperoleh suatu kontribusi yang menonjol dalam usaha untuk memperbaiki mutu barang hasil pengolahan. Dia mengatakan bahwa variasi terjadi pada setiap segi pengolahan dan variasi dapat dimengerti melalui penggunaan alat statistik yang sederhana.Sampling dan probabilitas digunakan untuk membuat control chart untuk memudahkan para pemeriksa mutu, untuk memilih produk mana yang memenuhi mutu dan tidak. Penemuan Shewhart sangat menarik bagi Deming dan Juran, yaitu kedua sarjana ahli dalam bidang statistik.
4.        Edward Deming
Lahir tahun 1900 dan mendapat Ph. D. pada 1972 sangat menyadari bahwa ia telah memberikan pelajaran tentang pengendalian mutu secara statistik kepada para insinyur bukan kepada para manajer yang mempunyai wewenang untuk memutuskan. Katanya “Quality is not determined on the shop floor but in the executive suite”. Pada 1950 beliau diundang oleh “The Union to Japanese Scientists and Engineers (JUSE)” untuk memberikan ceramah tentang mutu. Pendekatan Deming dapat disimpulkan sebagai berikut.
a)      Quality is primarily the result of senior management actions and not the results of actions taken by workers.
b)      The system of work that determines how work is performed and only managers cancreate system.
c)      Only manager can allocate resources, provide training to workers, select the equipment and tools that worekers use, and provide the plant and environment necessary to achieve quality.[3]
d)     Only senior managers determine the market in which the firm will participate and what product or service will be solved.
Hal ini berarti bahwa tanpa keterlibatan pimpinan secara aktif tidak mungkin tercapai manajemen mutu terpadu.
5.      Prof. Juran
Ia mengunjungi Jepang pada tahun 1945. Di Jepang Juran membantu pimpinan Jepang di dalam menstrukturisasi industri sehingga mampu mengekspor produk ke pasar dunia. Ia membantu Jepang untuk mempraktikkan konsep mutu dan alat-alat yang dirancang untuk pabrik ke dalam suatu seri konsep yang menjadi dasar bagi suatu “management process” yang terpadu. Juran mendemonstrasikan tiga proses manajerial untuk mengelola keuangan suatu organisasi yang dikenal dengan trilogy Juran, yaitu finance planning, financial control, financial improvement. Adapun perincian trilogi itu sebagai berikut.
a)      Quality planning, yaitu suatu proses yang mengidentifikasi pelanggan dan proses yang akan enyampaikan produk dan jasa dengan karakteristik yang tepat dan kemudian mentransfer pengetahuan ini ke seluruh kaki tangan perusahaan guna memuaskan pelanggan.
b)      Quality control, yaitu suatu proses di mana produk benar-benar diperiksa dan dievaluasi, dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan para pelanggan. Persoalan yang telah diketahui kemudian dipecahkan, misalnya mesin-mesin rusak segera diperbaiki.
c)      Quality improvement, yaitu suatu proses di mana mekanisme yang sudah mapan dipertahankan sehingga mutu dapat dicapai berkelanjutan. Hal ini meliputi alokasi sumber-sumber, menugaskan orang-orang untuk menyelesaikan proyek mutu, melatih para karyawan yang terlibat dalam proyek mutu, dan pada umumnya menetapkan suatu struktur permanen untuk mengejar mutu dan mempertahankan apa yang telah dicapai sebelumnya.
Uraian tokoh-tokoh mutu di atas sekadar menggambarkan secara singkat saja. Masih banyak sarjana di bidang mutu yang tidak sempat ditulis pada kesempatan ini. Yang jelas para sarjana tersebut sependapat bahwa konsep “pentingnya perbaikan mutu secara terus-menerus bagi setiap produk walaupun teknik yang diajarkan berbedabeda”.
Kini sampailah pada pengertian mutu yang diambil dari “America Society for Quality Control” yang mengatakan Quality is the totality of features and characteristics of a product or service that bear on its ability to satisty stated of implied needs (Kotler : 1994). Definisi di atas berkonotasi kepada pelanggan. Produk bermutu kalau dapat memuaskan para pelanggan yang mengkonsumsi produk tersebut.[4]
B.     Total Quality Managemant (TQM)
Total Quality Management (TQM) merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada pelanggan dengan memperkenalkan perubahan manajemen secara sistematik dan perbaikan terus menerus terhadap proses, produk, dan pelayanan suatu organisasi. Proses Total Quality Management bermula dari pelanggan dan berakhir pada pelanggan pula.[5]
Sistem TQM diarahkan oleh pengidentifikasian dan pemuasankebutuhan pelanggan. TQM merawat pelanggan. Karenanya, defenisi Kualitas (quality) sebagaimana yang diambil oleh Amirican Society for Quality adalah: “Keseluruhan fitur dan karakteristik produk atau jasa yang mampu memuaskan kebutuhan yang terlihat atau yang tersamar”.[6]
Manajemen Mutu Keseluruhan (TQM) menunjukkan bahwa prinsip dan praktek harus menjadi pertimbangan dasar ketika memfokuskan kembali perhatian nasional pada tantangan tahun 1990-an dan seterusnya. Tidak ada yang kurang dari perangkat tambahan budaya besar Amerika diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan standar hidup yang diinginkan oleh kebanyakan orang Amerika.
TQM memperkuat filosofi positif, nilai-nilai, perilaku, dan norma-norma akademisi pengembangan organisasi dan praktisi telah lama dikenal untuk menjadi signifikan dalam mencapai kepuasan karyawan dan kinerja organisasi. TQM (Total Quality management) yaitu manajemen mutu keseluruhan di dalam sebuah organisasi yang menjadikannya unggul dalam semua aspek produk barang dan jasa yang penting bagi konsumen atau masyarakat.[7]
Perbedaan TQM dengan program program sebelumnya menurut Rudolph dalam Montgomery (2007:75).
1.  Fokus pada kepuasan pelanggan, produk dan jasa.
2.  Mengakui kualitas sebagai keberadaan nilai dari pada tidak adanya cacat.
3.  Manajemen puncak partisipasi, arahan, dan dukungan.
4.  Keterlibatan karyawan dan tanggung jawab.
5.  Efektif dan komunikasi yang baru.
6.  Lintas-fungsional orientasi dan kerja sama tim.
7. Analisis sistem manajemen dan prosedur menggunakan standar, ukuran, dan teknik statistik dasar.
8.  Sebuah komitmen jangka panjang untuk perbaikan proses yang berkesinambungan.
9.  Penghargaan dan pengakuan atas kinerja.
10. Pelatihan tenaga kerja kesadaran, manajemen, keterampilan.
11. Mencapai disiplin organisasi untuk berlatih perilaku baru setiap hari, selamanya.
12. Mengembangkan budaya organisasi pendukung.
Penekanan dalam TQM adalah pada perilaku ketimbang sikap, partisipasi dari pada pengamatan, pengukuran dari pada menebak, integrasi bukan pemisahan, beberapa pendekatan dari pada satu cara yang benar, penghargaan dari pada menghukum, motivasi bukan apatis, tumbuh dari pada stagnan, melakukan lebih dari pada berkata, dan menang / menang dari pada menang / kalah.[8]

C.    Hambatan Penerapan TQM di Indonesia
Hasil analisis menunjukan ketidaksempurnaan penerapan praktik TQM dan infrastruktur yang mendukung penerapan praktiktersebut. Secara umum ada beberapa sebab yang memungkinkan keadaan tersebut:
1.      Kurangnya komitmen dari manajemen puncak. Hal ini ditunjukan dengan dukungan manajemen puncak hanya berpengaruh signifikan terhadap manajemen Arus Proses. Hal ini menunjukan manajemen belum menganggap proses produksi merupakan proses yang berhubungan dengan proses-proses yang lain, sehingga hanya memusatkan dukungan ke manajemen proses produksi saja.
2.      Kurangnya pengetahuan tentang konsep TQM. Hal ini ditunjukkan dengan sikap kerja yang hanya berpengaruh terhadap proses desain produk. Kurangnya pengetahuan tentang konsep TQM akan mempersulit pekerja untuk menerima dan menerapkan konsep tersebut (Santosa, 1988).
3.      Budaya organisasi kurang mendukung penerapan TQM. Hal ini ditunjukkan oleh organisasi belum. memandang perlunya untuk menjalin hubungan jangka panjang baik dengan pelanggan maupun dengan pemasok (Bounds et al, 1994). Ini menunjukkan organisasi di Indonesia belum sepenuhnya berfokus pada pelanggan dan menjalin hubungan dengan pemasok. [9]
4.      Ketidaksempurnaan penerapan praktik TQM. Ini bisa disebabkan oleh adanya kekhawatiran pekerja mengenai adanya kemungkinan down-sizing. Jika penerapan praktik TQM ini dapat meningkatkan efisiensi maka akan banyak tenaga kerja, terutama yang tidak memiliki kompetensi yang tinggi mungkin tidak diperlukan lagi oleh organisasi (Kolesar, 1995).
5.      Pekerja takut menunjukkan kesalahan/menyebunyikan kesalahan yang terjadi. Ini ditunjukkan oleh sikap kerja dari karyawan yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Statistical Control/feedback (Kolesar, 1995).
6.      Peran pemerintah yang kurang mendukung penerapan manajemen kualitas total. Hal ini terbukti dari adanya begitu banyak politik KKN di Indonesia. Selain itu, Herudi Kartowisastro, Kepala Badan Standarisasi Nasional dalam wawancara dengan kompas tanggai 14 Januari 2000 berpendapat bahwa pemerintah Indone¬sia belum menetapkan standar mutu yang wajib bagi barang-barang yang beredar di pasaran (lokal maupun impor). Hal ini mengakibatkan banyak barang industri yang tidak sesuai dengan standar nasional.
Pembahasan terhadap hasil analisis diatas akan dilakukan sebagaimana disajikan dengan urutan pembahasan sebagai berikut: hasil analisis deskriptif yang digunakan untuk mengetahui komitmen organisasi-organisasi manufaktur di Indonesia tentang kualitas total (TQM), hasil analisis uji beda antara organisasi manufaktur BUMN dan Non BUMN terhadap komitmen kualitas total dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja baik organisasi manufaktur BUMN maupun Non BUMN.
Jika melihat hasil perhitungan rerata komitmen organisasi-organisasi manufaktur terhadap pengembangan kualitas total, komitmen tertinggi pada dimensi manajemen manusia dan pelanggan, yang kedua adalah orientasi kepuasan pelanggan serta budaya kualitas organisasi dan yang ketiga , sistem pengukuran perbaikan kualitas. Sedangkan aspek penunjang partnership dengan pemasok, komunikasi pengembangan informasi, hubungan manajemen dengan pihak eksternal, manajemen kualitas strategik, struktur team­work untuk pengembangan dan perencanaan kualitas operasional pada umumnya penerapan dimensi kulitas total sudah cukup baik. Jika inti TQM ada tiga yaitu kepuasan pelanggan, perbaikan terus menerus dan pemberdayaan karyawan, maka perbaikan terus menerus masih kurang diperhatikan dibanding aspek yang lain, hal lain terbukti dengan nilai rerata yang paling rendah. Sedangkan untuk kepuasan pelanggan dan pemberdayaan karyawan sudah cukup baik.
Dalam hal ini berarti organisasi-organisasi manufaktur yang ada di Indonesia memandang bahwa manajemen manusia dan pelanggan merupakan faktor penting dalam menerapkan kualitas total, sehingga kualitas total yang berorientasi kepuasan pelanggan mungkin terhambat dalam lingkungan dimana manajemen manusia dan pelanggan itu rendah. Itu mungkin sebabnya organisasi-organisasi manufaktur di Indonesia mengimplementasikan kualitas total yang pertama untuk memperbaiki kepuasan kerja. Fokus uatama bagi manajer pada manajemen manusia dan pelanggan mungkin berhubungan dengan perkembangan kesempatan kerja dan keamanan kerja.
Hasil ini mendukung analisis yang dilakukan oleh Rubenstein (1993) yang hasilnya mengatakan bahwa organisasi-organisasi Jepang membuat komitmen jangka panjang pekerja mereka dan menggunakan training sebagai altematif terhadap pemutusan hubungan kerja karena ketidaknyamanan kerja akan berpengaruh terhadap kepuasan pekerja yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai jasa yang dihantarkan ke konsumen. Hal ini nampak bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan kepuasan konsumen. Hal yang serupa juga dihasilkan oleh analisis oleh Madu et.al dimana organisasi Taiwan menfokuskan pada kepuasan pekerja atau manajemen manusia dan pelanggan.
Untuk dimensi orientasi kepuasan pelangga bukan nilai tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi-organisasi manufaktur Indonesia belum sadar bahwa kepuasan pelanggan akan menjamin profitabilitas dan kelangsungan hidup organisasi serta lebih jauh lagi yaitu pencapaian keunggulan bersaing.
Keunggulan dalam bersaing yang kuat berasal dari kemampuan organisasi dalam memenuhi kepuasan dan keinginan konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Sehingga hal ini perlu menjadi perhatian bagi organisasi-organisasi manufaktur yang ada di Indo­nesia untuk meningkatkan pada komitmennya dalam memenuhi kepuasan pelanggan. Walaupun budaya organisasi yang berorientasi ke kepuasan pelanggan adalah sulit untuk dibangun, namun tidak berarti tidak mungkin. Pola pikir kepuasan konsumen dapat dibangun melalui usaha bersistem, antara lain melalui pendidikan dan pengalaman, manajemen puncak dapat menanamkan kepuasan pelanggan ke dalam diri seluruh personal organisasi. Manajemen puncak dapat mengkomunikasikan pola pikir kepuasan pelanggan melalui personal behazrior dan operational behavior. Pengenalan yang tidak kenal lelah dapat tumbuh di dalam diri sebagian besar personal organisasi. Hal ini perlu sekali dilaksanakan karena disebabkan sebaik apapun teknik pengembangan dan manajemen yang dijalankan, jika tidak memperhatikan konsumen maka organisasi akan mengarah ke dalam lubang kehancuran.
Apabila analisis diperluas dengan membandingkan antara organisasi-organisasi manufaktur BUMN dan Non BUMN, ternyata secara umum terdapat perbedaan dalam ha 1 pengembangan kualitas total. Dari hasil analisis uji-t, perbedaan tersebut terdapat dalam dimensi partnership dengan pemasok, komunikasi pengembangan informasi, orientasi kepuasan pelanggan, hubungan manajemen dengan pihak eksternal, manajemen kualitas strategik, struktur teamwork untuk pengembangan dan sistem pengukuran pengembangan kualitas. Sedangkan yang tidak berbeda hanya pada dimensi manajemen manusia dan pelanggan, manajemen kualitas strtategik, perencanaan kualitas operasional dan budaya kualitas korporat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara organisasi-organisasi manufaktur BUMN dengan Non BUMN dalam memenuhi dimensi kualitas total dikatakan cukup bukti untuk dikatakan berbeda. Dari hasil uji dimensi kualitas organisasi-organisasi manufaktur BUMN dan Non BUMN dalam memenuhi dimensi kualitas organisasi manufaktur Non BUMN lebih tinggi komitmennya terhadap manajemen kualitas total dibandingkan dengan organisasi manufaktur BUMN.
Kekuatan ekonomi global menyebabkan dunia usaha, terutana BUMn perlu melakukan tinjauan ulang terhadap struktur dan strategi usaha serta mengandalkan strategi manajemen yang berbasis efisiensi biaya dalam hal ini perlu memperhatikan dimensi kualitas 'total. Dalam menghadapi tersebut BUMN dituntut untuk melakukan repositioning dalam arti menyesuaikan strategi bisnis secara menyeluruh atau total terhadap perubahan lingkungan. Pembenahan ini meliputi hal yang berkaitan dengan sumber daya material yang bersifat tangible seperti fisik dan finansial dan yang bersifat non material seperti manajemen, sistem goodwill dan teknologi. Pembenahan juga meliputi sumber daya manusia seperti keterampilan, pengetahuan, motivasi dan kemampuan komunikasi.[10]
Selain hal tersebut persoalan BUMN yang mempunyai komitmen terhadap kualitas total yang rendah kemungkinan disebabkan oleh
1.      Adanya hambatan-hambatan birokrasi, campur tangan pemerintah yang terlalu jauh seringkah menyulitkan pengelola BUMN. Sedangkan disisi lain sebagai organisasi bisnis BUMN dituntut untuk meraih profit setinggi- tingginya.
2.       Adanya ketentuan dan peraturan yang menyangkut ketentuan dan peraturan yang menyebabkan berkurangnya kewenangan pengelola BUMN dalam mengambil keputusan. Hal ini menyebabkan gerak langkah yang diambil tidak lincah apalagi dikaitkan dengan era informasi dimana kelambanan dalam merespon suatu gejala dapat berarti hilangnya suatu opportunity bisnis.
3.       Menyangkut masalah misi ganda yang diemban BUMN yaitu profitisasi sekaligus misi sosial, sering tujuan fungsi sosial dijadikan alasan untuk membela diri apabila BUMN merugi. Misi ganda ini menghilangkan insentif yang dapat memberi motivasi bagi manajer BUMN untuk berprestasi optimal. Selain masalah eksternal tersebut terdapat juga masalah internal dalam budaya dan mentalitas dalam lingkungan usaha BUMN.
Dalam lingkungan BUMN banyak ditemukan sikap oportunis yang mementingkan diri sendiri sedangkan sikap yang mendorong inovasi kurang diberikan suasana yang kondusif (Suwadi, 1999). Perlu diketahui bahwa situasi bisnis dunia yang dituntut sikap profesional merupakan tuntutan yang mendesak.[11]






BAB III
PENUTUP
v  Kesimpulan
1.         Penerapan TQM membutuhkan dukungan dari infrastruktur organisasi. Tanpa adanya infrastrukur yang dapat mendukung, penerapan TQM menjadi sulit dan tidak dapat mendukung kinerja organisasi.
2.         Penerapan TQM di Indonesia masih bersifat partial. Hal ini memerlukan perhatian dari pihak organisasi. TQM merupakan konsep yang hanya akan berhasil jika diterapkan sebagai sistem yang menyeluruh (total) tidak hanya diterapkan pada suatu area atau program tertentu. TQM juga harus diintegrasikan ke dalam strategi yang lebih dalam organisasi, bersifat a cross functions, melibatkan seluruh pekerja (dari manajemen puncak sampai tingkat terendah dalam organisasi) dan melibatkan pihak pelanggan (customer chain) maupun pemasok (Supply chain).
3.         Tidak adanya variabel proses desain produk mempengaruhi kinerja kualitas organisasi, menunjukkan bahwa perlu dilaklukan perbaikan dalam proses desain produk. Proses desain hendaknya melibatkan pekerja produksi, pelanggan dan pemasok.

v  Saran:
Dalam makalah ini penulis menyarankan agar Total Quality Management di Indonesia hendaknya dijalankan dengan sebaik mungkin, mengingat begitu pentingnya peran dan fungsi TQM dalam rangka pencapaian tujuan yang ditetapkan organisasi. Perkembangan Kinerja manusia perlu menjadi perhatian utama bagi Perusahaan, dalam rangka melakukan manajemen Mutu terpadu secara menyeluruh dalam organisasi.


Daftar Pustaka
George Terry, Dasar-Dasar Manajemen. (Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
Heizer Jay-Barry Render, Operations Management (Jakarta: Salemba Empat, 2006)
Ismanto, Manajemen Syari’ah Implementasi TQM dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Nogi, Hessel Tangkilisan, Manajemen Modern untuk Sektor Publik, (Yogyakarta: BPFE, 2003)
Vincent Gaspersz, Total Quality Management. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005)

Website:
http://blog.dhanay.com
http://cheesterzone.blogspot.com
http://damasmart.wordpress.com
http://www.referensimakalah.com


[1] George Terry, Dasar-Dasar Manajemen. (Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
[2] Vincent Gaspersz, Total Quality Management. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005)
[3]http://blog.dhanay.com/2010/11/definisi-tqm-total-quality-management.html/Diakses pada tanggal 30/9/2013
[5]http://www.referensimakalah.com/2013/02/pengertian-total-quality-management-tqm.html/Diakses pada tanggal 30/9/2013
[6] Jay Heizer-Barry Render, Operations Management (Jakarta: Salemba Empat, 2006)
[7] Ismanto, Manajemen Syari’ah Implementasi TQM dalam Lembaga Keuangan Syari’ah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
[8] Ibid
[9] http://cheesterzone.blogspot.com/2011/10/hambatan-implementasi-tqm-di-indonesia.html/Diakses pada tanggal 30/9/2013
[10] Hessel Nogi S dan Tangkilisan, Manajemen Modern untuk Sektor Publik, (Yogyakarta: BPFE, 2003)
[11] Ibid

2 komentar: