BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Salah satu upaya untuk meningkatkan kinerja suatu
perusahaan/organisasi adalah dengan cara menerapkan Good Corporate Governance
(GCG). Penerapan Good Corporate Governance (GCG) merupakan pedoman bagi
Komisaris dan Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dengan
dilandasi moral yang tinggi, kepatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial perseroan terhadap
pihak yang berkepentingan (stakeholders) secara konsisten. Hal mengenai
Good Corporate Governance mulai terdengar di Indonesia sejak tahun 1997, dimana
pada saat itu bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Untuk bangkit dari krisis ekonomi tersebut bangsa Indonesia butuh waktu yang
lama. Lamanya perbaikan ini disebabkan karena masih lemah dan kurangnya
perusahaan di Indonesia dalam menerapkan Good Corporate Governance. Ditambah
lagi dengan adanya kasus Kimia Farma pada tahun 2002 yang terjadi akibat adanya
manipulasi laporan keuangan. Hal ini semakin menambah perhatian para pelaku
dunia usaha dan pihak regulator akan penerapan Good Corporate Governance di
Indonesia. Para pelaku dunia usaha diharapkan dapat mengubah cara mereka dalam
melakukan dan mengelola bisnis mereka untuk lebih transparan dan menciptakan
korporat yang sehat. Penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam
dunia usaha di Indonesia merupakan suatu kebutuhan dalam menjalankan aktivitas
bisnis, agar perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia dapat terus bersaing
dan bertahan dalam persaingan pasar globalisasi yang semakin kompetitif
sehingga perusahaan dapat mencapai tujuannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
sajakah yang termasuk kedalam prinsip-prinsip GCG ?
2.
Bagaimana
prinsip GCG dalam konsep perbankan?
3. Apakah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan
prinsip GCG pada perbankan?
4.
Bagaimana
contoh kasusnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PRINSIP GOOD
CORPORATE GOOD GOVERNANCE
Ada tuntutan public yang berkembang sejalan dengan
semakin maraknya kasus-kasus penyimpangan korporasi yang terjadi di seluruh
dunia selama beberapa decade terakhir ini, yaitu agar bisnis dijalankan secara
bersih dan bertanggung jawab. Alasannya public melihat bahwa
penyimpangan-penyimpangan korporasi itu
seolah telah menjadi corporate culture dunia
usaha. Hal ini tentu sangat merugikan semua pihak, termasuk pihak yang tidak
mempunyai hubungan secara langsung dengan perusahaan bersangkutan.
Secara
empiris memang terbukti kasus penyimpangan itu tidak hanya mempengaruhi kondisi
perusahaan maupun pihak-pihak yang mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan bersangkutan, tetapi
secara makro juga mempengaruhi kondisi perekonomian
internasional. Hal ini disebabkan semakin banyaknya perusahaan multinasional
yang beroperasi di berbagai Negara. Penyimpangan di satu Negara secara langsung akan mempengaruhi
perusahaan afiliasinya di Negara lain.
Public
pun akan menuntut dunia usaha sebagai pihak yang selalu perperan aktif untuk
mewujudkan bisnis yang adil (fairness), transparansi (transpaerancy), akuntabilitas (accountability),
dan responsibilitas (responsibility) ini. Public tetap akan menuntut dunia
usaha agar memenuhi kewajiban supaya akuntabilitasnya dapat
dipertanggungjawabkan. Hingga secara adil dan transpransi public dapat menerima
hak sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu, mendorong keadilan, transparansi,
akuntabilitas, dan responsibilitas merupakan syarat mutlak untuk menciptakan
kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab.
1. Keadilan (fairness)
Keadilan
merupakan kesetaraan
dalam memenuhi hak-hak stake holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, perlindungan terhadap
hak seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas (minority
shareholder), untuk memperoleh informasi secara tepat waktu dan teratur,
memberikan suara dalam rapat pemegang saham, memilih direksi dan komisaris, dan
pembagian laba perusahaan. Selain itu keadilan juga menekankan pentingnya
perlindungan untuk pemegang saham dari berbagai penyimpangan orang dalam
perusahaan, misalnya praktek insider trading, self-dealing, keputusan
manajer lain yang merugikan kepentingan seluruh pemegang saham, dan konflik
kepentingan dalam menetapkan peran dan tanggung jawab dewan komisaris, manajer
(direksi) dan komite, termasuk system remunerasi, menyajikan dan mengungkapkan
informasi secara wajar. Dalam Al-Qur’an, prinsip fairness ini dijelaskan dalam surat
An-Nisaa ayat 58 :
اِنَّ اللّٰهَ يَاۡمُرُكُمۡ اَنۡ
تُؤَدُّوا الۡاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهۡلِهَا ۙ وَاِذَا حَكَمۡتُمۡ بَيۡنَ النَّاسِ
اَنۡ تَحۡكُمُوۡا بِالۡعَدۡلِ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمۡ بِهاِنَّ اللّٰهَ
كَانَ سَمِيۡعًۢا بَصِيۡرًا ﴿۵۸
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. An-Nisaa:58)
2.
Transparansi
Transparansi merupakan pengungkapan
(disclosure) setiap kebijakan atau aturan yang (akan) diterapkan
perusahaan, sebab kepercayaan investor dan efisiensi pasar sangat tergantung
dari pengungkapan kinerja perusahaaan secara adil, akurat, dan tepat waktu. Ada
beberapa hal yang harus dilakukan perusahaan untuk mewujudkan prinsip ini.
a.
Mengembangkan
system akuntansi yang berbasis standar akuntansi yang diterima secara umum dan best
practices yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang
berkualitas.
b.
Mengembangkan
teknologi informasi (information technology) dan system informasai
manajemen (management information system) untuk menjamin adanya
pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif
oleh komisaris dan manajer.
c.
Mengembangkan
manajemen risiko korporasi (enterprise risk management) untuk memastikan
bahwa semua risiko telah diidentifikasi, diukur, dan dapat dikelola pada tingkat
yang jelas.
d.
Mengumumkan
jabatan yang kosong, agar setiap pihak mengetahuinya. Hal ini dilakukan agar
tidak terjadi pengangkatan pejabat perusahaan dengan cara-cara yang kolutif
atau nepotisme.
Dalam
hubungannya dengan islam, konsep transparency (keterbukaan informasi) telah
diungkapkan oleh Allah dalam potongan ayat berikut:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ
اٰمَنُوۡۤا اِذَا تَدَايَنۡتُمۡ بِدَيۡنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكۡتُبُوۡهُ
وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبٌۢ بِالۡعَدۡلِوَلَا يَاۡبَ كَاتِبٌ اَنۡ يَّكۡتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُفَلۡيَكۡتُبۡ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menjalankan
sesuatu urusan dengan hutang piutang yang diberi tempo hingga ke suatu masa
yang tertentu, maka hendaklah kamu menulis (hutang dan masa bayarannya) itu.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil (benar).
Dan janganlah seseorang penulis enggan menulis sebagaimana Allah telah
mengajarkannya…...” (Q.S. Al-Baqarah:282)
3.
Akuntabilitas
Akuntabilitas yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana
secara efektif. Akuntabilitas didasarkan pada system internal
checks and balances yang mencakup praktik audit yang sehat dan dicapai
melalui pengawasan yang efektif yang didasarkan pada keseimbangan kewenangan
antara pemegang saham, komisaris, manajer, dan auditor. Ada beberapa hal yang
harus dilakukan perusahaan untuk mewujudkan prinsip ini, yaitu :
a.
Perusahaan
dituntut untuk menyiapkan laporan keuangan pada waktu dan cara yang tepat.
b.
Perusahaan harus
mengembangkan komite audit dan risiko untuk mendukung fungsi pengawasan yang
dijalankan oleh dewan komisaris.
c.
Perusahaan harus
mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi auditor internal sebagai
mitra bisnis strategis berdasarkan best practice.
d.
Perusahaan harus
menggunakan jasa auditor eksternal yang professional.
4.
Responsibilitas
Responsibilitas merupakan tanggung
jawab perusahaan untuk mematuhi hukum
dan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk ketentuan mengenai lingkungan hidup, perlindungan konsumen,
perpajakan, ketenagakerjaan, larangan monopoli dan praktik persaingan yang
tidak sehat, kesehatan dan keselamatan kerja, dan peraturan lain yang mengatur
kehidupan perusahaan dalam menjalankan aktivitas usahanya. Prinsip ini sangat dianggap sebagai suatu perbuatan yang
baik dalam islam, sehingga setiap individu dalam perusahaan harus memiliki rasa
pertanggungjawaban yang tinggi dalam pekerjaan mereka sebagaimana yang
dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an berikut:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَخُوۡنُوا اللّٰهَ
وَالرَّسُوۡلَ وَتَخُوۡنُوۡۤا اَمٰنٰتِكُمۡ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡن ﴿۲۷﴾َ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(Q.S. Al Anfaal:27)
5.
Independency (kemandirian)
Independency
(kemandirian) yaitu suatu keadaan dimana
perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan
pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan
dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
Agar
semua prinsip-prinsip tercakup dalam good corporate governance ini dapat
berjalan secara efektif maka diperlukan system pengawasan dan pengendalian yang
memadai dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Untuk itu setiap perusahaan
mempunyai kewajiban untuk membentuk system pengawasan dan pengendalian sesuai
aturan yang berlaku untuk mewujudkan kehidupan bisnis yang bersih, sehat dan
bertanggung jawab. [1]
Penerapan
prinsip GCG tersebut akan meningkatkan kinerja perushaan dan secara signifikan
akan mengurangi upaya rekayasa keuangan
yang dilakukan manajemen sehingga lebih
lanjut dapat meningkatkan performa earning
management suatu perusahaan.[2] Pelaksanaan Good Corporate
Governance (GCG) sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan
masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan
untuk berkembang dengan baik dan sehat.
Menurut OECD corporate
governance adalah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan
mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan. Corporate governance yang
mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap
kehidupan perusahaan, termasuk pemegang saham, Dewan Pengurus, para manajer,
dan semua anggota stakeholders non-pemegang saham. Dengan pembagian
tugas, hak, dan kewajiban serta ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan
penting, maka perusahaan mempunyai pegangan bagaimana menentukan sasaran usaha
(corporate objectives) dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut.[3]
B. APLIKASI PRINSIP GOOD
CORPORATE GOVERNANCE (GCG)
PADA PERBANKAN
Corporate
governance yang dalam bahasa indonesia memiliki arti ”tata
kelola perusahaan” ini memiliki makna sebagai sebuah rangkaian proses,
kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan,
pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola
ini menyangkut hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder),
manajemen, dewan direksi dan pihak terkait lainnya.
Di Indonesia terdapat beberapa
peraturan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan penerapan prinsip Good
Corporate Governance (GCG) antara lain peraturan Bank Indonesia No.
8/4/PBI/2006 yang disempurnakan dengan peraturan Bank Indonesia No.
8/14/PBI/2006 tentang “Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum”, yang menunjukkan keseriusan Bank Indonesia dalam meminta pengurus
perbankan agar taat untuk menerapkan manajemen risiko guna melindungi
kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholder). Banyaknya
ketentuan yang mengatur sektor perbankan dalam rangka melindungi kepentingan
masyarakat menjadikan sektor perbankan sebagai sektor yang ”highly regulated”.
Kebutuhan untuk menerapkan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dirasakan
sangat kuat dalam industri perbankan. Situasi eksternal dan internal yang
dialami oleh perbankan semakin kompleks. Risiko kegiatan usaha perbankan kian
beragam. Keadaan tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan praktik tata
kelola perusahaan yang sehat atau yang sering dikenal dengan istilah good
corporate governance (GCG) di bidang perbankan. Pelaksanaan Good
Corporate Governance dalam prinsip-prinsipnya sangat diperlukan untuk
membangun kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak
bagi dunia perbankan untuk berkembang dengan baik dan sehat. Oleh karena itu, Bank
for International Sattlement (BIS) sebagai lembaga yang mengkaji terus
menerus prinsip kehati-hatian yang harus dianut oleh perbankan yang ada
diseluruh dunia, telah pula mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Good Corporate
Governance(GCG) bagi dunia perbankan secara internasional. Pedoman serupa
dikeluarkan pula oleh lembaga-lembaga internasional lainnya. Permasalahan yang
terjadi Pada sektor Perbankan diantaranya adalah :
·
Kebobolan kredit fiktif miliaran rupiah. Hal ini bermula
dari pengajuan kredit terkait suatu proyek oleh sebuah CV sebesar Rp 9,4
miliar. Namun yang disetujui hanya Rp 4,8 miliar dan dalam proses pembayarannya
mengalami kemacetan, kredit macetnya sebesar Rp 3,4 miliar. Belakangan
diketahui bahwa surat perintah kerja terkait kredit tersebut ternyata
dipalsukan. Nilai proyeknya pun sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan
pengajuan kreditnya, yakni hanya Rp 92 juta. (Sumber : www.kilasberita.com, 22
Juli 2008).
·
Baru-baru ini Komite Pemberantasan Korupsi menemukan kasus
aliran uang setoran (fee) di Bank Jabar Banten sebesar Rp 148 miliar ke
sejumlah pejabat. Kasus ini mirip dengan kasus Bank Century terutama dalam hal
pemberian fee kepada sejumlah pejabat. (Sumber : Harian
Ekonomi Neraca, 21 Januari 2010 dan Indonesia Monitor, 19 januari 2010).
·
Korupsi dilakukan mantan Direktur Utama salah satu Bank.
Terdakwa dianggap secara sah dan menyakinkan terbukti bersalah merugikan negara
sebesar Rp 51 miliar. Salah satu perbuatannya ialah meminta pimpinan bank anak
cabang menyetorkan dana untuk komisi dari modal tetapi tanpa bukti administrasi
berupa penerimaan. Perbuatan ini dinilai hakim melawan hukum formil, yakni
undang-undang dan perbuatan tercela melawan hukum secara materi. (Sumber :
www.liputan6.com. 9 April 2010).
Dari beberapa permasalahan tersebut
menunjukan bahwa masih lemahnya pengelolaan risiko dan penerapan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) di lingkungan
Perbankan. Permasalahan tersebut bisa
menurunkan tingkat kepercayaan nasabah, berpengaruh pada harga saham dan juga
pada kepercayaan mitra untuk melakukan transaksi bisnis. Karena tidak dapat
dipungkiri bahwa nama baik perusahaan merupakan salah satu aset yang paling
berharga, terlebih lagi untuk industri perbankan yang dasarnya adalah
kepercayaan antara penyimpan dana dan penghimpun dana.
Organisasi wajib menerapkan
praktik Good Corporate Governance (GCG). Hal ini diperkuat
dengan diterbitkannya pedoman umum Good Corporate Governance (GCG)
oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang
mewajibkan setiap organisasi yang sahamnya telah tercatat di bursa efek,
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola
dana masyarakat, dan perusahaan-perusahaan yang produk atau jasanya digunakan
oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap
lingkungan untuk menerapkan praktik Good Corporate Governance (GCG).
Selain itu, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
menerbitkan pedoman Good Corporate Governance (GCG) Perbankan
Indonesia yang merupakan pelengkap dan bagian tak terpisahkan dari pedoman
umum Good Corporate Governance (GCG). Pedoman ini dimaksudkan
sebagai pedoman khusus bagi perbankan untuk memastikan terciptanya bank dan
sistem perbankan yang sehat. Good Corporate Governance (GCG)
sebagaimana dimuat dalam Pedoman Good Corporate Governance Perbankan
Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance,
Januari 2004 adalah “suatu tata kelola yang mengandung lima prinsip utama yaitu
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability),
tanggung jawab (responsibility), independensi (independency), dan
kewajaran (fairness)”.[4]
Pengaturan dan implementasi GCG
memerlukan komitmen dari top management dan seluruh jajaran
organisasi. Pelaksanaannya dimulai dari penetapan kebijakan dasar (strategic
policy) dan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua pihak dalam
perusahaan. Bagi perbankan Indonesia, kepatuhan terhadap kode etik yang
diwujudkan dalam satunya kata dan perbuatan, merupakan faktor penting sebagai
landasan penerapan GCG.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan
tingginya tingkat kompleksitas serta risiko bisnis perbankan, Komite Nasional
Kebijakan Corporate Governance memandang perlu untuk mengeluarkan Pedoman Good
Corporate Governance Perbankan Indonesia sebagai pelengkap dan bagian
tak terpisahkan dari Pedoman Umum GCG. Perbankan dalam pedoman ini meliputi
bank umum dan BPR yang dijalankan secara konvensional maupun syariah. Sebagai
lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya
bank harus menganut prinsip-prinsip GCG. Dalam hubungan dengan prinsip tersebut
bank perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Keterbukaan (Transparency) : Bank harus mengungkapkan
informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan
serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan haknya.
Informasi yang harus diungkapkan meliputi tapi tidak terbatas pada hal-hal yang
bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi
keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, cross
shareholding, pejabat eksekutif, pengelolaan risiko (risk management),
sistem pengawasan dan pengendalian intern, status kepatuhan, sistem dan
pelaksanaan GCG serta kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi bank. Prinsip
keterbukaan yang dianut oleh bank tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi
ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi. Kebijakan bank harus tertulis dan
dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan yang
berhak memperoleh informasi tentang kebijakan tersebut.
Akuntabilitas (Accountability)
: Bank harus menetapkan tanggung
jawab yang jelas dari masing-masing organ organisasi yang selaras dengan visi,
misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan. Bank harus meyakini bahwa semua
organ organisasi bank mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan
memahami perannya dalam pelaksanaan GCG. Bank harus memastikan
terdapatnya check and balance system dalam pengelolaan bank.
Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan
ukuran-ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan (corporate
values), sasaran usaha dan strategi bank serta memiliki rewards and
punishment system.
Tanggung Jawab (Responsibility)
: Untuk menjaga kelangsungan
usahanya, bank harus : 1) berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudential
banking practices) dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku; dan
2) Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan
yang baik termasuk peduli terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab
sosial.
Independensi (Independency) : Bank harus menghindari terjadinya
dominasi yang tidak wajar oleh stakeholder manapun dan tidak
terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta bebas dari benturan kepentingan (conflict
of interest). Bank dalam mengambil keputusan harus obyektif dan bebas dari
segala tekanan dari pihak manapun.
Kewajaran (Fairness) : Bank harus senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan
dan kewajaran (equal treatment). Bank harus memberikan kesempatan kepada
seluruh stakeholders untuk memberikan masukan dan menyampaikan
pendapat bagi kepentingan bank serta mempunyai akses terhadap informasi sesuai
dengan prinsip keterbukaan.
C. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MENJALANKAN PRINSIP
GCG PADA BANK SYARIAH
Pada
tanggal 30 April 2010 ini Bank Indonesia melalui Surat Edarannya memberikan
penegasan terhadap PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Melalui PBI ini diatur kegiatan-kegiatan yang menyangkut dengan check and
balance yang harus dilakukan bank dan juga menghindari conflict of
interest dalam melaksanakan tugas. Untuk meningkatkan kulaitas
pelaksanaan GCG Bank diwajibkan untuk melakukan self assessment secara
komprehensif agar kekurangan bisa segera di deteksi. Dan pada akhirnya
Bank akan menyerahkan Laporan penerapan GCG ini kepada stakeholder sebagai
sebuah bentuk transparansi yang dilakukan oleh manajemen.
Pelaksanaan Good Corporate Government pada
industri perbankan Syariah harus berlandaskan kepada lima prinsip dasar GCG dan
dalam dunia bisnis serta beberapa paradigma pemikiran pelaku bisnis, ada
beberapa kesimpulan mengenai prinsip-prinsip mendasar yang harus dipegang teguh
pada penerapan GCG, yaitu ; Keadilan (fairness), Transparansi (transparancy),
akuntabilitas (accountability), Tanggung jawab (responsbility),
moralitas (morality), komitmen (commitment) dan kemandirian.
Prinsip-prinsip inilah yang pada akhirnya diintisarikan menjadi sebuah himbauan
yang tersirat dalam PBI No. 11 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Dalam ajaran Islam, point-point tersebut diatas menjadi
prinsip penting dalam aktivitas dan kehidupan seorang muslim. Islam sangat
intens mengajarkan untuk diterapkannya prinsip ’adalah (keadilan),
tawazun (keseimbangan), mas’uliyah (akuntabilitas), akhlaq
(moral), shiddiq (kejujuran), amanah (pemenuhan kepercayaan), fathanah
(kecerdasan), tabligh (transparansi,keterbukaan), hurriyah
(independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab), ihsan (profesional),
wasathon (kewajaran), ghirah (militansi syariah), idarah (pengelolaan),
khilafah (kepemimpinan), aqidah (keimanan), ijabiyah (berfikir
positif), raqabah (pengawasan), qiraah dan islah (organisasi yang
terus belajar dan melakukan perbaikan). Berdasarkan uraian di atas dapat
dipastikan bahwa Islam jauh mendahului kelahiran GCG (Good Coorporate
Governance) yang menjadi acuan bagi tata kelola perusahaan yang baik di
dunia. Prinsip-prinsip itu diharapkan dapat menjaga pengelolaan institusi
ekonomi dan keuangan syari’ah secara profesional dan menjaga interaksi ekonomi,
bisnis dan sosial berjalan sesuai dengan aturan permainan dan best
practice yang berlaku.
Selain mengatur tata kelola secara mendasar, PBI ini juga
mengatur tentang keterkaitan dan tugas serta tanggung jawab yang harus diemban
oleh para punggawa syariah compliance, yaitu Dewan Pengawas Syariah. Tugas dan
tanggung jawab DPSdilakukan dengan cara, antara lain ; (a) melakukan pengawasan
terhadap proses pengembangan produk baru Bank terkait dengan
pemenuhan prinsip syariah dan (b) melakukan pengawasan terhadap kegiatan Bank
terkait dengan pemenuhan prinsip syariah.
Dua hal ini menjadi sebuah point penting dalam penerapan
GCG pada Perbankan Syariah, dari sisi manajemen dan tata kelola perusahaan
lainnya, semua telah mengacu kepada rule of the games yang
telah ada, dan telah diatur dengan kebijakan intern dan juga PBI, sedangkan
untuk DPS, hal ini masih baru dan belum terlalu maksimal pengaturannya.
Dewan Pengawas akan sangat berperan dalam menjaga syariah
compliance yang berkaitan erat dengan pengelolaan perusahaan dari sisi
kebenaran syariah, dan hal ini akan menjadi sangat penting ketika perusahaan
akan mengeluarkan produk-produk perbankannya. Sehingga bisa kita simpulkan,
selain tata kelola yang baik dari sisi manajemen perusahaan, tata kelola
pengawasan dan pengembangan yang dilakukan oleh DPS menjadi tolak ukur mendasar
dalam kesuksesan penerapan GCG pada Bank Syariah.
Ditinjau secara yuridis bank syariah bertanggung jawab
kepada banyak pihak (stakeholders). Pihak dimaksud antara lain terdiri dari
nasabah penabung, pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden,
regulator, pegawai perseroan, pemasok serta masyarakat dan lingkungan. Dengan
demikian penerapan GCG merupakan suatu kebutuhan bagi setiap bank syariah.
Penerapan GCG merupakan wujud pertanggungjawaban bank syariah kepada masyarakat
bahwa suatu bank syariah dikelola dengan baik, profesional dan hati-hati
(prudent) dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham
(shareholder's value) tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya.
Pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance oleh
sebuah bank, termasuk bank syariah paling tidak harus diwujudkan dalam:
- Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Dewan Direksi;
- Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank;
- Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
- Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
- Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
- Rencana strategis bank;
- Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Khusus untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syariah oleh
bank paling tidak terdapat dua langkah penting yang perlu ditempuh, yaitu:
Pertama, perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan (endorsement)
dari otoritas fatwa dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam hal
menentukan kehalalan atau kesesuaian produk dan jasa keuangan bank dengan
prinsip syariah. Kedua, perlunya mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau
transaksi keuangan bank sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas
fatwa perbankan. Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul adalah
masih minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu fikih dan syariah serta
sekaligus memiliki pengetahuan perbankan yang memadai.
Selain itu juga bagi para pemegang otoritas perbankan perlu
mengantisipasi munculnya tantangan yang mungkin muncul terkait dengan
implementasi GCG Bank Syariah di Indonesia. Untuk saat ini memang sebagian
prinsip-prinsip GCG telah dipenuhi oleh bank-bank syariah, misalnya dengan
telah dibentuknya aturan hukum dan kelembagaan khusus untuk bank syariah yang
mengatur tentang struktur dan organisasi bank syariah, persyaratan pemilik dan
pengurus, aturan dan mekanisme fit and proper test, kewajiban bank untuk
membentuk satuan kerja audit intern, ketentuan disclosure, standard akutansi,
dan penerapan manajemen risiko yang semuanya telah diatur secara detail dalam
PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank
Umum.
Sebagai elemen pendukung bagi implementasi prinsip GCG pada
bank syariah yakni adanya lembaga-lembaga lain, seperti Dewan Syariah Nasional
(DSN), Dewan Pengawas Syariah (DPS), Lembaga Pengaduan Nasabah, Lembaga Mediasi
Perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dan terakhir adanya
perluasan kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan agama dalam hal memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Seperti halnya
yang dilakukan perbankan syariah pada saat ini. Para penulis etika perbankan
seringkali menjelaskan pentingnya memahami prinsip etika perbankan. Prinsip
tersebut adalah[5] :
1. Prinsip kepatuhan peraturan
2.
Prinsip
kerahasiaan
3.
Prinsip
kebenaran pencatatan
4.
Prinsip
kesehatan persaingan
5.
Prinsip
kejujuran wewenang
6.
Prinsip
keselarasan kepentingan
7.
Prinsip
keterbatasan keterangan
8.
Prinsip
kehormatan profesi
9.
Prinsip
pertanggungjawaban sosial
10. Prinsip persamaan perlakuan
Prinsip-prinsip yang mengemukakan dengan jelas tentang
keadilan, saling membantu, bebas izin dan kejujuran pada bagian pihak-pihak
untuk sebuah kontrak, menghindari kecurangan, salah tafsir dan keliru
menyatakan fakta juga membicarakan ketidakadilan atau kesewenang-wenangan,
memberikan dasar-dasar bagi kontrak yang sah.
Norma-norma
ini berkaitan dengan tanggung jawab manusia dihadapan Allah Swt. dan memiliki
implikasi yang berbeda dengan norma-norma etika bisnis arus besar. Islam
mengajarkan keyakinan tentang hari kemudian, yang mengharuskan manusia dilarang
merebut hak orang lain. Hal yang menjadi prinsip syariah, bahwa meski Allah Swt
mungkin mengampuni kesalahan yang dilakukan terhadap hak-Nya (lalai beribadah
misalnya), Dia tidak mengampuni kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap
sesamanya atau bahkan kepada makhluk lainnya. Jadi, memberikan hak yang
semestinya kepada sesama manusia adalah prinsip terpenting sistem etika islam.
Beberapa elemen pendorong seperti kebajikan, membersihkan pendapatan,
transparansi dan keterbukaan yang wajar, dokumentasi transaksi, mengarah pada
ketepatan hak dan tanggung jawab para pihak dan etika komprehensif yang
mengharuskan kepedulian kepada sesama, juga merupakan bagian dari keranga norma
bisnis islami.[6]
Bagan Kegiatan Usaha dan Produk-produk Bank Syariah[7]
D. CONTOH KASUS : PENERAPAN PRINSIP GCG PADA BANK SYARIAH MANDIRI
Sebagai perusahaan go public,
implementasi good corporate governance(GCG) atau tata kelola
perusahaan yang baik, merupakan kebutuhan mutlak bagi Bank Syariah Mandiri. Selain untuk menjaga kesinambungan bisnis Bank Syariah Mandiri dalam
jangka panjang, pengimplementasian GCG juga mutlak harus
dilakukan dalam rangka pemenuhan hak dan tanggungjawab
Bank Syariah Mandiri kepada
seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas yang dikuasi masyarakat berdasarkan 5
(lima) prinsip dasar GCG, yakni transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi, dan fairness, sesuai dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku dan sesuai dengan anggaran dasar
perusahaan. Bank Syariah Mandiri sangat menyadari bahwa GCG merupakan
perangkat utama yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan dalam tata hubungan
antara karyawan, Direksi, Dewan Komisaris,pemegang saham, dan para pemangku
kepen tingan (stakeholders) lainnya. Dengan demikian, bagi Bank Syariah
Mandiri, pemenuhan
prinsip-prinsip GCG merupakan bagian untuk membangun fondasi
bisnis yang sehat. Untuk mengupayakan sistem perbankan yang sehat dan kuat
sebagaimana komitmen Dewan Komisaris dan Direksi, Bank Syariah Mandiri berkeyakinan
bahwa penerapan prinsip-prinsip GCG merupakan salah satu
prasyarat mutlak dalam proses transformasi tersebut. Seiring dengan
berkembangnya bisnis bank dan perubahan-perubahan dalam bisnis perbankan baik
secara nasional maupun global, dan persaingan yang semakin ketat pada industri perbankan,
maka Bank
Syariah Mandiri harus menyiapkan antisipasi melalui perbaikan dan
penyesuaian secara terus menerus. Dengan demikian, Bank Syariah Mandiri dapat
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan mampu memberikan nilai
tambah bagi Bank Syariah Mandiri dan sistem perbankan secara keseluruhan.
Implementasi BSM telah
memperoleh pengakuan dari banyak pihak eksternal baik dari lokal maupun
internasional. Hal ini, sebagai wujud apresiasi/kepercayaan masyarakat terhadap
komitmen tinggi seluruh insan Bank dalam pengelolaan tata kelola perusahaan
yang baik. Selama tahun 2011, BSM telah berhasil meraih penghargaan.
Penghargaan prestisius yang diraih oleh Bank atas penyusunan Laporan Tahunan
2010 dengan predikat Juara Pertama untuk kategori Swasta Keuangan Non Listed.
Salah satu aspek penilaian yang memiliki porsi penilaian tertinggi adalah aspek
tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Optimalisasi penerapan GCG BSM terus
dilakukan dengan penguatan infrastruktur untuk mencapai praktik terbaik, pengujian
keandalan serta penyesuaian sistem dan prosedur sesuai dengan perkembangan
bisnis dan regulasi/ketentuan perbankan syariah untuk mendukung pelaksanaan GCG
yang semakin efektif.
Pada hakekatnya optimalisasi
dan pengembangan prinsip-prinsip GCG yang diterapkan BSM mencakup empat asas,
yaitu[8]
:
1.
Transparansi (Transparency)
a.
Pengelolaan Homepage
b.
Penggunaan sarana intranet dan
forum doa pagi setiap Senin untuk seluruh jajaran BSM
c.
Pengembangan Tim Mrdiasi
Perbankan BSM
d.
Publikasi Laporan Keuangan
& Self Assessment Pelaksanaan GCG pada media masa, Annual Report dan
Homepage Bank
e.
Publikasi laporan keuangan dan
perhitungan bagi hasil secara berkala melalui brosur/leaflet untuk naabah
f.
Pengungkapan remunerasi
pengurus BSM dalam laporan GCG
g.
Tata tertib kerja bagi anggota
Dewan Komisaris dan anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS)
h.
Updating ketentuan internal
dalam Bank SE di intranet yang dapat diakses seluruh jajaran BSM
i.
Pengungkapan internal fraud
> 100 juta dalam laporan GCG
Hambatan prinsip ini adalah
adanya Internal Fraud dan Benturan Kepentingan yang dilakukan Pegawai dan
Direksi Bank Syariah Mandiri sendiri. Hambatan ini terjadi karena belum
mengakarnya sistem keterbukaan informasi dan sistem kepatuhan pada lingkungan
pegawai dan Direksi BSM.
2.
Akuntabilitas (Accountability)
a.
Pelaksanaan RUPS (Tahunan dan
Luar Biasa)
b.
Rapat-rapat internal pengurus,
komite-komite Pejabat Eksekutif dan pihak terkait
c.
Penerapan Balanced Scorecard
(BSC) untuk pengelolaan kinerja
d.
Cost Efficiency di seluruh unit
kerja
e.
Penilaian bulanan dan triwulan
melalui monitoring relisasi Rencana Bisnis Bank (RBB) untuk tingkat unit kerja
Kantor Pusat dan Cabang
f.
Performance contract dan
performance Appraisal untuk seluruh pegawai
g.
Pembinaan unit kerja BSM sesuai
kinerjanya setiap hari Senin pagi
Hambatan pada prinsip ini
terdapat pada peran Dewan Pengawas Syariah :
1)
Apakah Pengawas yang dilakukan
DPS sudah dilakukan secara objektif berdasarkan bukti-bukti otentik dan
rasional, mengungkapkan fakta yang relevan dengan pelaksanaan pekerjaan,
terhindar dari prasangka subjektif atau memihak tanpa bukti dan data yang
valid?
2)
Apakah pengawasan oleh DPS
sudah bersifat independen artinya dalam proses dan praktik tidak terjadi
pemihakan atau pengaruh lain yang disebabkan adanya faktor x?
3)
Apakah pengawasan yang
dilakukan DPS dilakukan secara sistemik mengikuti alur manajemen pengawasan
sehingga akan dihasilkan hasil pengawasan yang maksimal?
3.
Tanggungjawab (Responsibility)
a.
Penerbitan Risk Opinion,
Compliance Review, Compliance Opinion/Note
b.
Keputusan Komite Sisdur (KKS)
untuk penerbitan ketentuan internal dan Komite Mnajemen Risiko (KMR)
c.
Penggunaan jasa Appraisal eksternal, Auditor Eksternal
untuk pemeriksaan/audit laporan keuangan
d.
Pemeriksaan dari Bank Mandiri,
SKAI-BSM
e.
Penguatan Satuan Kerja
Kepatuhan dan Manajemen Risiko
f.
Penyelenggaraan tender melalui
Tim Pengadaan dan Pengendalian Barang dan Jasa (TPPBJ)
g.
Pemutakhiran daftar rekanan,
Appraisal, Notaris, Auditor Eksternal
h.
Penunjukan Komisaris dan Pihak
Independen dalam Komite-Komite
i.
Peningkatan kualitas (skill)
pegawai Bank
j.
Kompetensi pegawai sesuai Job
Description masing-masing.
Hambatan dalam pelaksanaan
prinsip ini adalah disebabkan karena faktor kepercayaan masyarakat sendiri yang
kurang kepada Bank Syariah. Sebagian masyarakat banyak yang tidak percaya alias
tidak yakin kalau zakatnya akan sampai kepada mustahik jika disalurkan lewat
lembaga pengelola zakat. Padahal saat ini Bank Syariah Mandiri dan banyak
lembaga pengelola zakat yang lain sudah mengelola zakat dengan modern dan
profesional termasuk dengan rutin melakukan audit melalui lembaga independen
dan memberikan laporan terbuka kepada masyarakat- hingga tidak ada alasan untuk
tidak percaya
4.
Keadilan (Fairness)
a.
Implmentasi Human Capital
Strategy
b.
Pemberian reward pegawai a.l.
Tunjangan Prestasi Unit Kerja (TPUK) triwulan, insentif dan bonus
c.
Penerapan sanksi bagi pegawai
yang melanggar disiplin berupa pembinaan, peringatan (SP1. SP2, SP3) dan PHK
bagi karyawan bermasalah (fraud)
d.
Mutasi, promosi/rotasi/demosi
pegawai dan pejabat unit kerja
e.
Pemberian apresiasi berupa
penghargaan hadiah bagi pegawai cabang yang berprestaasi
f.
Pelaksanaan program screening
pegawai baru, terutama terkait hubungan keluarga
g.
Penyelenggaraan tender a.l.
Program Assessment Center Pegawai
h.
Equal treatment kepada
stackholders
Hambatan pada prinsip ini
adalah pada Human Capital Strategy. Dapat dilihat dari Sumber Daya Manusia Bank
Syariah sendiri dikarenakan masih banyak praktisi bank syariah yang belum
memahami ekonomi syariah dan fiqh muamalah ekonomi. Banyak petinggi perbankan syariah
tampaknya tidak begitu peduli akan realitas minimnya pengetahuan kesyariahan
para karyawan bank syariah.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Good
Corporate governance yang dalam bahasa indonesia
memiliki arti ” tata kelola perusahaan” ini memiliki makna sebagai sebuah
rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang mempengaruhi pengarahan,
pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola
ini menyangkut hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder),
manajemen, dewan direksi dan pihak terkait lainnya. Pada tanggal 30 April 2010
ini Bank Indonesia melalui Surat Edarannya memberikan penegasan terhadap PBI
No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Melalui PBI ini diatur
kegiatan-kegiatan yang menyangkut dengan check and balance yang harus dilakukan
bank dan juga menghindari conflict of interest dalam
melaksanakan tugas.
Dalam dunia bisnis dan beberapa paradigma pemikiran
pelaku bisnis, ada beberapa kesimpulan mengenai prinsip-prinsip mendasar yang
harus dipegang teguh pada penerapan GCG, yaitu ; Keadilan (fairness),
Transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability),
Tanggung jawab (responsbility), moralitas (morality), komitmen (commitment)
dan kemandirian. Prinsip-prinsip inilah yang pada akhirnya diintisarikan
menjadi sebuah himbauan yang tersirat dalam PBI No. 11 yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia.
B. SARAN
Karya yang penulis
susun ini bukanlah karya yang sempurna tapi sesuatu yang lahir dari kerja
keras. Tentunya hasil kerja keras penulis bukan tanpa kekurangan. Maka penulis
senantiasa mengharapkan masukan dan kritikan Bapak Dosen Pembimbing,
rekan-rekan pembaca, dan mudah-mudahan rekan-rekan semua dapat menggali terus
potensi yang kita miliki agar kita dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
dari “Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance “ yang tentunya dengan izin
Allah SWT. Mudah-mudahan dengan terciptanya makalah ini, khususnya bagi penulis
dan umumnya untuk para pembaca bisa mengembangkan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip good corporate governance dalam Alquran serta implementasinya
pada dunia perbankan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Fadhil, Nur
Ahmad Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika
Bisnis dalam Islam, Jakarta : Hijri Pustaka Umum, 2001
Farouk, Peri Umar, Perspektif Hukum Positif atas Kelembagaan,
Operasional, dan Pengembangan Produk Perbankan Syariah, Makalah pada Pelatihan
Aspek Legal Perbankan Syariah, diselenggarakan, Yogyakarta : Bagian Hukum
Islam dan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, 2006
Good Corporate Governance Perbankan Indonesia KNKCG, 2004
http://fh.unpad.ac.id/repo/?p=1933 diakses pada 10/04/2013
http://lismaaja.blogspot.com/2011/12/jurnal-penerapan-prinsip-prinsip-good.html, diakses pada 08/04/2013
Moeljono, Djokosantoso, Good
Corporate Culture sebagai inti dari Good Corporte Governance, Jakarta : PT.Elex
Media Komputindo, 2005
Rivai, Veithzal, dkk, Islamic
Business and Economic Ethics:Mengacu pada al-Qur’an dan Mengikuti Jejak
Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi, Jakarta: PT.Bumi
Aksara, 2012
Sulistyanto, Sri. Manajemen Laba : Teori dan Model Empiris, Jakarta:
Grasindo, 2007
[1] Sri
Sulistyanto, Manajemen Laba : Teori dan Model Empiris (Jakarta:
Grasindo, 2007) h.138-140
[2] Djokosantoso
Moeljono, Good Corporate Culture sebagai
inti dari Good Corporte Governance (Jakarta: PT.Elex Media Komputindo,
2005), h.28
[3]
http://lismaaja.blogspot.com/2011/12/jurnal-penerapan-prinsip-prinsip-good.html, diakses pada 08/04/2013
[5] Nur Ahmad Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta : Hijri Pustaka Umum, 2001), h.
188-189
[6] Veithzal Rivai, dkk, Islamic Business
and Economic Ethics:Mengacu pada al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW
dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2012),
h.397-398
[7] Peri Umar Farouk, Perspektif Hukum Positif atas Kelembagaan, Operasional, dan
Pengembangan Produk Perbankan Syariah, Makalah pada Pelatihan Aspek Legal
Perbankan Syariah, diselenggarakan Bagian Hukum Islam dan Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2006
izin mw copas, boleh?
BalasHapusBoleh... tap jangan semua ya mbak....... dan di edit juga.....
Hapustulisan yang bagus
BalasHapusThanks.....
Hapussuper lengkap :D
BalasHapusMau tanya kak contoh pelaksanaannya gimana
BalasHapus