Rabu, 22 Mei 2013

Syuf'ah (fiqh muamalah)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki aturan yang lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan kebenaran. Karena itulah ketika ada persekutuan dalam benda-benda yang tidak bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan menjurus kapada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan pembagian terhadap barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.

Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan harga yang sama, sebagai upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan itu. Hal ini berlaku bagi seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak yang disekutukan belum dibagi, tidak diketahui batasan-batasannya dan tidak dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya diketahui antara dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada Syuf’ah karena dampak persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak ada, yang karenanya ada penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan barang yang dijual dari pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas lagi apa Syuf’ah itu, dan bagaimana filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.






B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan Asy-Syuf’ah?
2.      Landasan hukum apa yang di pakai adanya Syuf’ah?
3.      Apa saja rukun dalam Syuf’ah?
4.      Serta apa saja syarat dalam Syuf’ah?
5.      Adakah pewaris di dalam Syuf’ah itu?
6.      Jelaskan filsafat Syuf’ah?
7.      Apa hikmah dengan adanya Syuf’ah?

C.    Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.      Mengetahui definisi dari Asy-Syuf`ah.
2.      Mengetahui landasan hukum yang dipakai Syuf’ah.
3.      Mengetahui rukun-rukun serta syarat-syarat dalam Syuf’ah.
4.      Mengetahui pewarisan dalam Syuf’ah.
5.      Mengetahui filsafat Syuf’ah.
6.      Mengetahui hikmah adanya Syuf’ah.











BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Al-Syuf’ah

Asy-Syuf’ah berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu (menggabungkan), hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, partner (mitra usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa yang dijual. Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi’.[1]

Sedangkan menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.[2] Berbeda dengan para ulama menafsirkan al-syuf’ah  adalah sebagai berikut :
1.          Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri[3] bahwa yang dimaksud dengan al-syuf’ah ialah :

“Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”

2.          Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh syafi’i sebagai pengganti dan pembeli denan membayar harga brang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.[4]



3.        Menurut Idris ahmad,[5] Al-syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat barudengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.
Setelah diketahui ta’rif-tar’rif yang dikkemukakan oleh para ulama beserta contohnya, kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan oleh seorang syar’riq dan dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.

Dari pengertian para ulama- ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa as-syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan [6].
Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Dengan demikian syuf’ah tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak tergabung dalam perserikatan (syarikah), atau syuf’ah juga tidak bisa dilakukan oleh syafi’ terhadap penjualan milik bersama oleh perseorangan bila penjualan itu dilakukan setelah memperoleh persetujuan atau kerelaan anggota perserikatan (syarikah) terlebih dahulu atau karena ketidak sanggupan para pemilik untuk membeli atau mengganti hak milik anggota yang menjual miliknya itu.
Di sisi lain, anggota persekutuan yang ingin melepaskan haknya dari anggota pemilikan bersama itu berkewajiban terlebih dahulu menawarkan kepada para pemegang hak perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih dahulu maka, orang orang yang terlibat dalam syarikah selain yang menjual haknya, dapat melakukan syuf’ah.
قَضاى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ أَوْحَاءِطٌ لاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيْعَ حَتّى يُٶذِنَ شَرِيْكُهُ فَإِنْ شَآءَ أَخَذَ وَإِنْ شَآءَ تَرَكَ فَاإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُٶْذِنْهُ فَهُوَ اَحَقُّ بِه


“Rasulullah saw telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas tiap perserikatan terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang diantara anggota persekutuan itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin perserikatannya. Jika seorang anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak yang akan dijual oleh partnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak berminat, ia pun boleh meninggalkannya. Jika penjualan itu berlangsung tanpa seizin para koleganya dalam pemilikan itu, maka para anggota perserikatan itulah yang paling berhak atas bagian yang dijual tersebut”.[7]

B.       Landasan Hukum Al- Syuf’ah

Dasar hukum Syuf’ah adalah as-Sunnah, dan umat Islam telah sepakat  akan pensyariatannya, diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

Dari Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw.menetapkan Syuf’ah untuk barang yang pembagian kepemilikannya belum jelas (untuk barang yang belum dipecah). Apabila telah ada had (batasan) secara jelas dan dapat dibedakan, maka tidak lagi berlaku Syuf’ah.[8](Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2028, Fathul Bari IV: 436 no: 2257 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, ’Aunul Ma’bud IX: 425 no: 3497, Ibnu Majah II: 835 no: 2499 dan Tirmidzi II: 413 no: 1382 tanpa kalimat terakhir).

Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mempunyai (kebun) kurma, atau sebidang tanah, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum menawarkannya kepada rekan sekongsinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2021 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2492 dan Nasa’i VII: 319).[9]

Dari Abu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kawan sekongsi itu lebih berhak atas apa yang dekat dengan dia.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2027 dan Ibnu Majah II: 834 no: 2498).[10]


C.       Rukun dan Syarat-syarat  Al-Syuf’ah
Rukun-rukun Syuf’ah[11] diantaranya :
*      Barang yang diambil (sebagian yang sudah diambil), syaratnya keadaan barang tidak bergerak. Menurut Mohd saramadan akmal, “Syuf’ah (co-ownership) is only applicable to immovable property (aqar). A B - owned by 2 person, A and B -B wants sell to C -B must ask A first -if B not asking, there will several problems occurred. If the property is movable (manqul), most of jurist said that syuf’ah can’t be applied”. [12]Adapun barang yang bergerak berarti dapat dipindahkan, dan tidak berlaku padanya Syuf’ah, melainkan dengan jalan mengkuti kepada yang tidak bergerak.
*      Orang yang mengambil barang (partner lama); disyari’atkan keadaannya orang yang tidak bersyari’at pada zat yang diambil, dan memiliki akan bagiannya. Maka tetangga tidak berhak mengambil Syuf’ah menurut madzhab Syafi’i, begitu juga yang bersyari’at pada manfaat, dan orang yang mempunyai hak pada harta wakaf.
*      Yang dipaksa (partner baru); syaratnya keadaan barang dimilikinya dengan jalan bertukar, bukan dengan jalan pusaka atau wasiat ataupun pemberian.

 Syarat-syarat Asy Syuf’ah[13] :
*      Barang yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti: tanah, rumah dan yang berkaitan dengannya secara tetap, misalnya: tanaman, bangunan, pintu-pintu, atap-atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas.
            Berdalil kepada hadits dari Jabir r.a.:                                                            

                       قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ : رُبْعَةٍ أَوْحَائِطٍ.
           
Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala macam barang syirkah (perseroan) yang tidak dapat dibagi-bagi seperti: rumah atau kebun”.

            Berbeda dengan pendapat penduduk Makkah dan ad-Dhahiriyah, serta suatu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan: “Bahwa Syuf’ah berlaku untuk segala jenis”. Karena bahaya yang mungkin dapat terjadi pada partner dalam jual-beli barang tak bergerak, dapat pula terjadipada barang yang dapat dipindahkan. Mereka berdalil kepada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir:

قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شَيْئٍ
           
Rasulullah menetapkan Syuf`ah untuk segala jenis”.


Dalil lain adalah hadits riwayat Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi saw., bersabda:

اَلشُّفْعَةُ فِيْ كُلِّ شَيْئٍ
Syuf’ah berlaku untuk segala jenis”.

                                         Ath-Thahawi mengeluarkan kesaksian dari hadits Jabir dengan isnad yang dapat dipercaya, dan Ibnu Hazm mendukung hadits ini. Ia mengtakan: “Syuf’ah wajib pada setiap penjualan barang musya’ yang tidak dapat dibagi antara dua orang atau lebih, dalam  bentuk apapun yang pada awalnya terbagi-bagi berupa, tanah pohon (satu atau lebih), budak pria, budak wanita, pedang, makanan, binatang atau apa saja yang tidak dapat dijual”.

Orang yang membeli secara Syuf’ah, adalah partner dalam barang tersebut. Dan perkongsian mereka lebih dulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak adanya perbedaaan batasan antara keduanya, hingga barang itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan. Dalil yang disyaria’atkan assuf’ah adalah dari sunnah dan kesepakatan ulama, adapun dari sunnah ada hadist yang banyak, diantarannya:[14]
Dari Jabir r.a., berkata:

قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ ماَلَمْ يُقْسَمْ, فَإِذاَوَقَعَةِالْحُدُوْدُوَصُرِّفَتِّ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ (رواه الخمسة)
                      
Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala jenis yang belum dibagi/dipecah. Dan apabila terjadi had (batasan hak) kemudian pembedaan hak sudah jelas, maka tidak ada lagi Syuf’ah”. Riwayat Al-Khamsah.

                       Artinya bahwa Syuf’ah yang berlaku untuk semua jenis barang Musytarak (bersama) yang menjadi milik telah dilakukan diantara keduanya, maka tidak ada lagi Syuf’ah.

                                   Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi. Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah manfaatnya menjadi tidak ada.

*      Barang yang di Syuf’ahkan keluar dari pemilikan tuannya dengan jalan penggantian harta, seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti pengakuan (pernyataan) dengan jalan damai, atau karena adanya faktor jinayat, atau hibah dengan penjualan dengan cara tertentu. Karena pada hakekatnya ini adalah penjualan. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Syuf’ah hanya berlaku bagi barang yang dijual saja, dengan berlandaskan pada makna lahiriah hadits dalam Bab ini.

*      Syafi` meminta dengan segera.

            Maksudnya, bahwa Syafi’ jika telah mengetahui penjualan ia wajib meminta dengan segera, jika hal itu memungkinkan. Jika ia telah menegetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya menjadi gugur.[15] Sebabnya, karena jika Syafi’ memintanya dengan segera atau ia memperlambat permintaannya, hal ini akan berbahaya bagi si pembeli. Kerena pemilikanya terhadap barang yang dijual tidak sesuai (stabil) dan tidak memungkinkan ia bertindak untuk membangunnya, karena takut tersia-sia oleh usaha dan karena ia takut diambil segera Syuf’ah.

*      Syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harga sesuai yang telah diakadkan. Kemudian Syafi’ mengambil Syuf’ah harga yang sama, apabila jual beli itu Mitslian, atau dengan suatu nilai yang dihargakan. Di dalam hadits Marfu` dari Jabir:
هُوَأَحَقُّ بِهِ بِاالثّمَنِ (رواه الجوزجان)
            Dia (syafi’) lebih berhak dengan harga”. Riwayat Al-Jauzjani

         Bila ia tidak mampu menyarahkan keseluruhan harga, gugurlah Syuf’ah. Imam Malik dan mazdhab Hanbali berpendapat: “Bahwa apabila harga itu ditangguhkan semuanya atau sebagiannya, maka Syafi’ boleh menangguhkannya, atau membayarnya secara kredit sesuai dengan akad di awal.

*      Syafi’ mengambil semua transaksi jual beli atas barang. Apabila Syafi’ mengambil sebagian saja, maka gugur haknya secara keseluruhan. Dan apabila Syuf’ah terjadi antara lebih dari satu orang Syafi’, sebagian mereka melepaskannya, untuk yang sebagian lagi tak lain kecuali mengambil keseluruhannya. Hal ini dimaksudkan agar barang tidak terpilah-pilah atas pembeli.

*      Masyfu’ min hu, yaitu orang yang mengambil syuf’ah.
Disyaratkan pada masyfu ‘min hu bahwa ia memiliki benda telebiih dahulu secara syarikat, contohnya ialah Umar menjual dan Rahmat memiliki sebuah rumah secara syarikat. Umar menjual miliknya kepada Zakaria, waktu khiarnya hingga tanggal 20 januari 1992. Kemudian Rahmat menjual pula haknya kepada Fatimah. Maka zakaria dapat melakukan tindakan Syuf’ah pada Fatimah.

Dan ada juga orang yang harus menjual yang disebut al masyfuu’ fiih. Syarat - syaratnya yaitu bahwa orang yang harus menjual kembali barang syuf’ah kepada anggota syarikah ialah orang yang menerima pemindahan milik anggota syarikah melalui jual beli atau dari tetangga, bagi yang mengakui adanya hak syu’ah bagi tetangga. Adapun pemindahan hak milik yang bukan dengan cara jual beli, diperselisihkan oleh para fuqaha.
Adapun cara melakukan syuf’ah dengan syarat – syarat sebagai berikut :
a.       syuf’ah haruslah dilakukan secepat mungkin, dalam artinya bahwa syaafi’ hendak melakukan syuf’ah maka ia mestilah melaksanakan setelah ia mengetahui adanya pemindahan hak milik oleh anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat pelaksanaan syuf’ah tanpa suatu halangan yang bisa diterima, maka hak syuf’ah akan menjadi gugur.
b.      Adapun kadar ukuran syuf’ah, disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama denga harga jual yang dilakukan oleh anggota perserikatan dengan pembeli, serta tidak boleh kurang.

D.       Pewarisan Al-Syuf’ah

Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah dapat diwariskan dan tidak batal karena kematian. Apabila sesorang memperoleh hak Syuf’ah, kemudian ia meninggal dunia sebelum hak itu atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal dunia sebelum sempat mewariskan haknya itu kepada ahli waris, maka hukumnya dianalogikan dengan kasus yang sama dalam persoalan harta benda.

Imam Ahmad mengatakan: “Tidak diwariskan, kecuali jika mayit menuntutnya”. Dan para pengikut madzhab Hanafi mengatakan: Bahwa hak ini tidak dapat diwariskan, dan juga tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah, kecuali jika hakim telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.[16]

E.       Filsafah Al-Syuf’ah

Kita semua tahu bahwa segala perintah atau aturan baik itu bersifat samawi (berasal dari Tuhan) maupun ardhi (buatan manusia) menyatakan adanya Syuf’ah. Syariat Nabi Muhammad yang terang benderang memperbolehkan dan menetapkan hal ini karena adanya beberapa faedah.

Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang yang bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan, kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah menyakiti teman sekutu­nya yang lain dengan adanya tetangga ini.[17]

Barangkali orang yang membeli itu berakhlak jelek dan jiwanya buruk yang tidak mengetahui hak tetangga, maka hal itu akan menyakiti tetangganya. Rasulullah telah bersabda :

مَازَالَ جِبْرِيْلُ يُوَصِّنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku untuk senantiasa berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan menjadi ahli waris”.

Beliau juga bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنَ بِااللهِ وَاْليَوْمِ الْاَخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah da n hari akhir, maka hedaklah ia memuliakan tetangganya.

Barangkali tetangganya membutuhkan bagian ini, misalnya untuk dijadikannya sebagai rumah, atau barang kali tokonya sempit dan ingin memperluasnya, atau tanah itu bersebelahan dengan tanah pertaniannya dan ia sangat membutuhkannya. Demikianlah di antara hal-hal yang memberi faedah kepada tetangga.

Oleh karena itu, Al-Syari' yang bijaksana menjadikan dan memperbolehkan Syuf’ah. Seorang tetangga atau sekutu me­miliki hak dalam prioritas atau hak lebih dahulu daripada yang lainnya kecuali jika haknya tersebut gugur dengan adanya halangan untuk membeli. Adapun mengenai tipu daya yang rusak atau batil yang dijadikan pembeli untuk menyakiti tetangga, maka Al-Syari' mengecamnya dan tidak ridha sama sekali. Namun, apabila tipu daya itu berisi tentang penghilangan bahaya, maka diperboleh­kan secara syara.[18]


F.        Tindakan Pembeli

Tindakan pembeli terhadap harta sebagia Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah karena ia bertindak terhdap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada orang lain, syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua penjualan. Jika pembeli harta mengibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya atau yang sejenisnya, Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnyasebab pemilikan barang tersebut tanpa ganti.

Tindakan pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil sebab Syafi’i telah melaksanakan haknya dan ada kemungkinanpembeli bermaksud mempermainkan hak Syafi’i. Apabila seseoran berdamai dalam masalah syuf;ah aatau menjalnya dari pembeli, menurut al-syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan benda-benda yang telah diambil. Menurt Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk dia miliki dari pembeli.

G.      Hikmah Al-Syuf’ah
Islam mensyari’atkan Syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan menghindari permusuhan. Karena hak kepemilikan Syafi’ dari pembelian orang lain (pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang lainyang baru saja ikut serta. Imam Syafi’i memilih pendapat bahwa yang di maksud dengan madharat (bahaya) adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak baruyang ikut serta dan lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud kemadharatan adalah risiko persekutuan.











BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.

Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi. Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah manfaatnya menjadi tidak ada.

Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang yang bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan, kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah menyakiti teman sekutu­nya yang lain dengan adanya tetangga ini.                              


DAFTAR PUSTAKA

Al-asqalani,al-hafidz ibnu hajar, 2011. Bulughul maram. surabaya: mutiara ilmu.

Alislami.com/muamalah/11-jual-beli/290-bab-syuf`ah.html

Dahlan Tamrin, 2012. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN Press.

Ibnu Rusyd. Bidayah al Mujtahid.  jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960).

Idris Ahmad, 1986. fiqh al- Syafiiyah, Jakarta : Karya Indah.

Karim helmi, 1993. Fiqh Muamalah. Jakarta : Rajawali Press.

Lil Imam Alqodi Abu Waydimuham Ibnu Ahmad, Bidayatu Mujtahid (Darul kitab Al Arabiyah), juz 1.

Mohd saramadan akmal, concept and types of property in islamic law and western law Islamic, (Book Service : Lahore, 1989).

Rasjid Sulaiman, 1976. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah.

Sayyid Sabiq, 1997. Fiqih Sunnah. Kairo: Dar al-fiqr.

Sulaiman Rasyid, 1976. Fiqh Islam, Jakarta:  Attahiriyah.

Syaikh Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri . Usaha Keluarga: Semarang.

Tamrin Dahlan, 2012. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN Press.



[1]Sayyid Sabiq, fiqh al-sunnah, (Dar al-fiqr: Kairo, 1997), hl 45.
[2]Ibid,  hl 45.
[3] Syaikh Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, (Usaha Keluarga: Semarang, t.t), hl 15.
[4] Ibid, hl 45.
[5] Idris Ahmad, fiqh al- Syafiiyah, (Karya Indah: Jakarta, 1986), hl 121.
[6]Karim,helmi Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993
[7]Al-asqalani,al-hafidz ibnu hajar,2011,bulughul maram,surabaya: mutiara ilmu hl 406.
[8]Ibid, 45
[9] Alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/290-bab-syuf`ah.html
[10] Ibid,
[11]Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyah. Jakarta: 1976, hlm 321
[12] Mohd saramadan akmal, concept and types of property in islamic law and western law Islamic, (Book Service : Lahore, 1989).
[13]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah..hlm, 48-53
[14] Lil Imam Alqodi Abu Waydimuham Ibnu Ahmad, Bidayatu Mujtahid (Darul kitab Al Arabiyah), juz 1.
[15] Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 193.
[16] Ibid, 54
[17] Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, UIN Press. Malang: 2012 ,hlm 27
[18] Ibid, 28

3 komentar: