A. PROFIL AL-MAWARDI
Abu Al- Hasan bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’I lahir dikota Basrah pada tahun 364 H (974 M).
setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia
berkelana diberbagai negeri islam untuk menuntut ilmu. Diantara guru-guru Al-Mawardi adalah
Al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali, Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri,
Ja’far bin Muhammad bin Al-Fadhl Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi,
Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.
Berkat
keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab syafi’i ini dipercaya memangku jabatan
Qadhi (hakim) diberbagai negri secara bergantian. Setelah itu al-Mawardi
kembali kekota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat sebagai hakim
agung pada masa pemerintahan Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi.[1]
Sekalipun
hidup dimasa dunia islam terbagi kedalam tiga dinastii yang saling bermusuhan,
yaitu dinasti Abbasiyah di Mesir, dinasti Umayah II di Andalusia dan Dinasti
Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi memperoleh kedudukan yang tinggi dimata para
penguasa dimasanya bahkan, para penguasa Bani Buwaihi, selaku pemegang
kekuasaan pemerintah Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka dengan
musuh-musuhnya. Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar
dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib al-Baghdadi dan Abu A-Izza
Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi.
Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputii berbagai bidang kaijian dan bernilai
tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, sepeti : Tafsir Al-Quran al-Karim,
al-Amtsal wa al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab ad-Dunya wa ad-Din,
Siyasah al-maliki, Nasihat al-Muluk, al-ahkam ash-shulthaniyyah, an-Nukat wa
al-Uyun, dan Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-Maliki. Dengan
mewariskanberbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut. Al-mawardi
meninggal pada awal tahun 450 H (1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun.
B. PEMIKIRAN EKONOMI
Pada
dasarnya, pemikiran ekonomi al-Mawardi tersebut paling tidak pada tiga buah
karya tulisannya, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam
as-Sulthaniyyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan
tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian
utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi,
salah satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah
dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia
banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan administrasi agama islam,
seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbaga lembaga Negara,
penerimaan dan pengeluarn Negara, serta Institusi Hibah.[2]
Dari
ketiga karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi islam tampaknya sepakat
menyatakan bahwa al-Ahkam As-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komperhensif
dalam mempersentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi al-Mawardi. Dalam kitabnya
tersebut, al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara
khusus pada bab 11,12, dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta,
sedekah, ghanimah, serta harta jizyah dan Kharaj.
Analisis
komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukan
bahwa al-Mawardi membahas masalah-masalah keuanagan dengan cara yang lebih
sistematis dan rumit. Sumbanga utama al-Mawardi terletak pada pendapat mereka
tentang pembenaan pajak tanbahan dan dibolehkannya peminjaman public.[3]
C. NEGARA dan AKTIFITAS EKONOMI
Teori
keuangan public selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi.
Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh
warga negaranya. Permasalahan inipun tidak luput dari perhatian Negara islam.
Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik
keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya merupakan
suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.[4]
Dalam
perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki
peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Ia menjadi
kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama,
yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi.[5] Dengan demikian seperti para pemikir muslim
sebelumnya, al-Mawardi memandang bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap
anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang
ekonomi, melainkan moral dan agama.
Selanjutnya
al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang
diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,
“ jika hidup dikota menjadi tidak
mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum, atau rusaknya
tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan, jika
tidak memiliki dana, Negara harus memnemukan jalan untuk memperolehnya”[6]
Al-Mawardi
menegaskan bahwa Negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang
dibutuhkan oleh layanan public karena setiap individu tidak mungkin membiayai
jenis layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan public merupakan kewajiban
social (fardh kifayah) dan harus bersandar kepada kepentingan umum.[7]
Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim
sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengadakan proyek dalam kerangka
pemenuhan kepentingan umum, Negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau
membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumber keuangan yang memadai.[8] Lebih
jauh ia menyebutkan tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap
warga Negara sebagai berikut :
a.
Melindungi agama
b. Menegakkan hukum dan stabilitas
c.
Memelihara batas Negara islam
d. Menyediakan iklim ekonomi yang
kondusif
e.
Menyediakan administrasi public,
peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f.
Mengumpulkn pendapat dari berbagai
sumber yang tersedia serta menaikannya dengan menerapkan pajak baru jika
situasi menuntutnya
Seperti yang telah disebutkan,
Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara
serta merealisasikan kesejahteraan dan perkembangan ekonomi secara umum.
Sebagai konsekuensinya, Negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat
membiayai pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut. Berkaitan dengan hal ini,
Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan Negara terhadap pendirian kantor lembaga
keuangan negara secara permanen muncul pada saat terjadi transfer sejumlah dana
Negara dari berbagai daerah lalu dikirimkan kepusat.[10]
Seperti pada halnya para pemikir
Muslim diabad klasik, al-Mawardi menyebutkan bahwa sumber-sumber pendapatan
Negara islam terdiri dari Zakat, Ghanimah, Kharaj, Jizyah, dan Ushr.
Terkait dengan pengumpulan harta zakat, al-Mawardi membedakan antara kekayaan
yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak. Pengumpulan zakat atas kekayaan
yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian, harus dilakukan langsung oleh
Negara, sedangkan pengumpulan zakat atas kekayaan yang tidak tampak, seperti
perhiasan dan barang dagangan, diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.[11]
Lebih jauh al-Mawardi berpendapat
bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan Negara tersebut apabila tidak mampu
memenuhi kebutuhann anggaran Negara atau terjadi defisit anggaran, Negara
memperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada
public. Secara historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Untuk
membiayai kepentingan perang dan kebutuhan social lainnya dimasa awal
pemerintahan Madinah.[12]
Menurut al-Mawardi, pinjaman public
harus dikaitkan dengan kepentingan public. Nemun demikian, tidak semua
kepentingan public dapat dibiayai dari dana pembiayaan public. Ia berpendapat
bahwa ada dua jenis biaya untuk kepentingan public, yaitu biaya untuk
pelaksnaan fungsi-fungsi mandatory Negara dan biaya untuk kepentingan
umum dana kesejahteraan masyarakat. Dana pinjaman public hanya dapat dilakukan
untuk pembiayaan berbagai barang atau jasa yang disewa oleh Negara dalam
kerangka mandatory functions. Sebagai gambaran, al-Mawadi menyatakan
bahwa ada beberapa kewajiban Negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa,
seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini
harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan Negara mencukupi atau tidak.
Apabila dana yang ada tidak mencukupi, Negara dapat melakukan pinjaman kepada
public untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.[13]
Dengan demikian, menurut al-Mawardi
pinjaman public hanya memperbolehkan untuk membiayai kewajiban Negara yang
bersifat mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang
bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, Negara dapat
memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.[14]
Pernyataan al-Mawardi tersebut juga
mengindikasikan bahwa pinjaman public dilakukan jika didukung oleh kindisi
ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan konsumtif.
Disamping itu, kebijakan pinjaman public merupakan solusi terahir yang
dilakukan oleh Negara dalam menghadapi defisit anggaran.[15]
D. PERPAJAKAN
Sebagaimana trend pada masa
klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian al-Mawardi.
Menurutnya, penilaian atas Kharaj harus berfariasi sesuai dengan
factor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan
tanah, jenis tanaman dan sisitem irigasi.
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan
penyebutan ketiga hal tersebut sebagai factor-faktor penilaian Kharaj.
Kesuburan tanah merupakan factor yang sangat penting dalam melakukan penilaian
Kharaj karena sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis
tanaman juga berpengaruh terhadap penilaian kharaj karena berbagai jenis
tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupula halnya dengan
sistem irigasi.
Disamping ketiga factor tersebut,
al-Mawardi juga mengungkapkan factor yang lain, yitu jarak antara tanah
yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Factor terahir ini juga sangat relevan
karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah
dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan al-Mawardi keadilan baru akan
terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak
mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam melakukan penilaian suatu objek
Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, system irigaasi dan jarak tanah
ke pasar”.
Tentang metode penetapan Kharaj,
al-Mawardi menyarankan untuk mengguanakan salah satu dari tiga metode yang
pernah diterapkan dalam sejarah islam, yaitu:
a.
Metode Misahah, yaitu metode
penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini merupakan Fixed-Tax, terlepas
dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut bisa
ditanami.
b. Metode penetapan Kharaj berdasarkan
ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak
dikelola tidak masuk dalam penilaian objek Kharaj.
c.
Metode Musaqah yaitu metode
penetapan Kharaj berdasarkan presentase dari hasil produksi (proportional tax).
Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
Secara kronologis, metode pertama
yang digunakan umat islam dalam penerapan kharaj adalah metode Misahah. Metode
ini diterapkan pertama kali pada masa khalifah Umar ibn Khatab berdasarkan
masukan dari para sahabat yang melakukan survey. Pada masa ini, pajak
ditetapkan tahunan pada tingkat yang berbeda secara Fixed atas
setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses keair, sekalipun
tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh Negara dari jenis pajak
ini pun bersifat fixed. Melalui penggunaan metode ini, Khalfah Umar
ingin menjamin pendapatan Negara pada setiap tahunnya demi kepentingan
ekspansi, sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan
dalih hasil produksi rendah.
Metode yang kedua juga pernah
diterapkan pada masa Umar. Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini
dilakukan pada bebarapa wilayah tertentu saja, terutama di Syiria. Metode yang
terahir, Muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah,
Khususnya pada masa dinasti Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.
E. BAITUL MAL
Seperti yang telah dikemukakan,
al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja Negara dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, Negara membutuhkan lembaga keuangan
Negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini,
pendapatan Negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah
dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta
Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak
mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah dapat
meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain.[16] Ia juga menyatakan bahwa
pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan
kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat surplus, guberbur
mengirimkan sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah
pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan
sebaggian harta Baiitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami deficit.
Kemudian dilihat dari tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan
public. Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal kedalam dua
hal, yaitu :
a.
Tanggung jawab yang timbul dari
berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan
kepada mereka yang berhak.
b. Tanggung jawab yang timbul seiring
dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan ketegori yang dibuat
al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung jawab Baitul Mal yang
terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari sedekah. Kerena pendapatan
sedekah yang diperuntukan bagi klompok masyarakat telah ditertentukan dan tidak
dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, Negara hannya diberi kewenangan untuk
mengatur pendaptan itu sesuai apa yang telah digariskan oleh ajaran islam.
Dengan demikian kategori tanggung jawab yang pertama merupakan pembelanjaan
yang bersifat tetap dan minimum.
Kemudian kategori tanggung jawab
yang kedua yakni terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari Fai. Menurut
al-Mawardi, seluruh jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum
dan bukan milik perseorangan secara khusus merupakan bagian dari harta Baitul
Mal. Oleh karena itu, pendapatan fai yang diperuntukan bagi
seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta Baitul Mal.
Lebih jauh, al-Mawardi
mengklasifikasikan kategori yang kedua ini kedalam dua hal.
Pertama, tanggung jawab yang timbul sebagai
pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti untuk pembayaran gaji para
tentara dan pembiayaan pengadaan senjata. Pelaksanaan tanggung jawab ini
menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, berapapun
besarnya.
Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui
bantuan dan kepentingan umum. Al-Mawardi menyatakan bahwa pelaksanaan jenis
tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal. Jika terdapat
dana yang cukup dari Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut
menjadi tanggung jawab social (fardh kifayah) seluruh kaum muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab
Negara, uraian al-Mawardi tersebut juga menunjukan bahwa dasar pembelanjaan
public dalam Negara islam adalam Maslahah (kepentingan umum). Hal ini
berarti bahwa Negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta Baitul
Mal selama berorientasi pada pemeliharaan maslahah dan kemajuannya.
Dalam hal pendistribusian pendapatan
zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban Negara untuk mendistribusikan
harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk
membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk
membantu mereka karena ‘pemenuhan kebutuhan’ merupakan istilah yang relative.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebingga terbebas dari 1 Dinar, sementara
yang lain mungkin membutuhkan 100 dinar.
Disamping itu al-Mawardi berpendapat
bahwa zakat harus didistribusikan diwilayah tempat zakat itu diambil.
Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan
mustahik zakat diwilayah tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau
terdapat surplus, maka mereka yang paling berhak menerimannya adalah yang
terdekat wilayah tempat zakat tersebut diambil.
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk
menjamin pendistribusian harta Baitul Mal agar berjalan lancar dan tepat sasaran,
Negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal
ini salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhaikan kebutuhan public
serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteran bagi masyarakat umum.
Al-mawardi menegaskan, jika mekanisme pengadaan air minum kekota mengalami
kerusakan, atau dinding sekitarnya bocor, atau kota tersebut banyak dilintasi
oleh para musafir yang sangat membutuhkan air, maka Muhtasib (petugas hisab)
harus memperbaiki system air minum, merekonstruksi dinding dan memberikan
bantuan keuangan kepada orang-orang miskin, karena hal ini adalahh kewajiban
baitul Mal bukann kewajiban Masyarakat.
Disamping menguraikan teori tentang
pembelanjaan public,, al-Mawardi ternyata memahami dampak ekonomi pengalihan
pendapatan melalui kebijakan public. Ia menyatakan: “ Setiap penurunan dalam
kekayaan public adalah peningkatan kekayaan Negara dan setiap penurunan dalam
kekayaan Negara adalah peningkatan dalam kekayaan public.”
Dengan demikian, menurut al-Mawardi
pembelanjaan public, seperti halnya perpajakan, merupakan alat efektif untuk
mengalihkan sumber-sumber ekonomi. Pernyataan al-Mawradi tersebut juga
mengisyaratkan bahwa pembelanjaan public akan meningkatkan pendapatan
masyarakat secara keseluruhan.
F.
KESIMPULAN
Setelah dipaparkan dengan panjang lebar pada bagian
terdahulu, maka dalam kesimpulan ini menarik untuk melihat apa yang dinyatakan
oleh Syed Nawab Haidar Naqvi yang menyimpulkan dua point penting yang berkenaan
dengan keadilan ekonomi, yaitu Pertama, pandangan Islam terhadap keadilan
sosial ekonomi dilandaskan pada prinsip bahwa semua yang ada di alam semesta
ini adalah milik Allah (QS, 3 : 180). Sebagai khalifatullah fi al-ardh manusia
diberi wewenang untuk mengelolanya dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan
seluruh makhluk. Pemilikan manusia hanyalah bersifat relatif.
Kedua, ajaran Islam seperti yang
termuat dalam al-Qur’an tak henti-hentinya menggalakkan mekanisme
pendistribusian kembali pendapatan yang sifatnya built in, yang lebih
diefektifkan lagi oleh pengaitannya dengan ridha Allah.
Dalam pembuatan makalah ini penulis
banyak mengambil sumber dari buku “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” karya
Ir. H. Adi Warman Ashar Karim,SE. M.BA.
DAFTAR
PUSTAKA
Audi, Rif’at al-, Min al-Turats:
al-Iqtishah li al-Muslimin, Makkah: Rabithah ‘alam al-islami, 1985
Azmi,Sbahuddin, Islamic Ekonomic:
Public Finance in Early Islamic Thought, New Dehli : GoodWord Books, 2002
Siddiqi, M. Najatullah, History
of Islamic Economic Thought, dalam Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awam, (ed), Lectures
on Islamic Economic, Jeddah: IRTI-IDB,1992
[1] Rifa’at Al-Audi, Min
at-Turats : al-Iqtishad li al-Muslimin (makah: Rabithah ‘Alam
al-Islami,1985), cet.ke-4,hlm.185.
[2] M. Najatullah
Siddiqi, Islamic Economic Thought: foundation, Evolution and Needed
Direction, dalam Abdul Hasan M. Sideq dan Aidit Ghazali (ed), Readings
in Islamic Economic Thought (Selangor Darul Ehsan: Longman Malaysia, 1992),
hlm. 18
[3] Sabahuddin Azmi, Islamic
Ekonomic: Public Finance in Early Islamic Thought (New Dehli: GoodWord
Books, 2002), hlm. 34
[4] Al-Mawardi,
Al-Ahkam as-Sulthaniyyah (Bairut: Dar al-Kutub, 1978), hlm.5.
[5] Sabahuddin Azmi, op.
cit., hlm.40.
[6] Al-Mawardi, Op. Cit.,
hlm 245.
[7] Ibid.
[8] Sabahuddin Azmi, op.
cit., hlm.43.
[9] Al-Mawardi, Op.
Cit., hlm. 15-16.
[10] Ibid.,
hlm.199
[11] Ibid.,
hlm.113
[12] Sabahuddin
Azmi, op. cit., hlm.87.
[13] Al-Mawardi, Op.
Cit., hlm. 214.
[14] Sabahuddin
Azmi, op. cit., hlm.88.
[15] Ibid.,
[16] Al-Mawardi, Op.
Cit., hlm. 215.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar