Rabu, 22 Mei 2013

Pemikiran Ekonomi Al-Mawardy



A.    PROFIL AL-MAWARDI
            Abu Al- Hasan bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’I lahir dikota Basrah pada tahun 364 H (974 M). setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad selama dua tahun, ia berkelana diberbagai negeri islam untuk menuntut ilmu. Diantara guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali, Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri, Ja’far bin Muhammad bin Al-Fadhl  Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.
Berkat keluasan ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab syafi’i ini dipercaya memangku jabatan Qadhi (hakim) diberbagai negri secara bergantian. Setelah itu al-Mawardi kembali kekota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat sebagai hakim agung pada masa pemerintahan Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi.[1]
Sekalipun hidup dimasa dunia islam terbagi kedalam tiga dinastii yang saling bermusuhan, yaitu dinasti Abbasiyah di Mesir, dinasti Umayah II di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi memperoleh kedudukan yang tinggi dimata para penguasa dimasanya bahkan, para penguasa Bani Buwaihi, selaku pemegang kekuasaan pemerintah Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka dengan musuh-musuhnya. Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib al-Baghdadi dan Abu A-Izza Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi. Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputii berbagai bidang kaijian dan bernilai tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, sepeti : Tafsir Al-Quran al-Karim, al-Amtsal wa al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab ad-Dunya wa ad-Din, Siyasah al-maliki, Nasihat al-Muluk, al-ahkam ash-shulthaniyyah, an-Nukat wa al-Uyun, dan Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-Maliki. Dengan mewariskanberbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut. Al-mawardi meninggal pada awal tahun 450 H (1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun.




B.     PEMIKIRAN EKONOMI

Pada dasarnya, pemikiran ekonomi al-Mawardi tersebut paling tidak pada tiga buah karya tulisannya, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi, salah satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan administrasi agama islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbaga lembaga Negara, penerimaan dan pengeluarn Negara, serta Institusi Hibah.[2]

Dari ketiga karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa al-Ahkam As-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komperhensif dalam mempersentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi al-Mawardi. Dalam kitabnya tersebut, al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara khusus pada bab 11,12, dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta, sedekah, ghanimah, serta harta jizyah dan Kharaj.
Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukan bahwa al-Mawardi membahas masalah-masalah keuanagan dengan cara yang lebih sistematis dan rumit. Sumbanga utama al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang pembenaan pajak tanbahan dan dibolehkannya peminjaman public.[3]

C.    NEGARA dan AKTIFITAS EKONOMI

Teori keuangan public selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan inipun tidak luput dari perhatian Negara islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.[4]

Dalam perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.[5] Dengan demikian seperti para pemikir muslim sebelumnya, al-Mawardi memandang bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan moral dan agama.

Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,
“ jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum, atau rusaknya tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan, jika tidak memiliki dana, Negara harus memnemukan jalan untuk memperolehnya”[6]

Al-Mawardi menegaskan bahwa Negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan public karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan public merupakan kewajiban social (fardh kifayah) dan harus bersandar kepada kepentingan umum.[7] Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengadakan proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum, Negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumber keuangan yang memadai.[8] Lebih jauh ia menyebutkan tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga Negara sebagai berikut :

a.       Melindungi agama
b.      Menegakkan hukum dan stabilitas
c.       Memelihara batas Negara islam
d.      Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
e.       Menyediakan administrasi public, peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f.       Mengumpulkn pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikannya dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya
g.      Membelanjakan dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibanya.[9]
Seperti yang telah disebutkan, Negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara serta merealisasikan kesejahteraan dan perkembangan ekonomi secara umum. Sebagai konsekuensinya, Negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Al-Mawardi menyatakan bahwa kebutuhan Negara terhadap pendirian kantor lembaga keuangan negara secara permanen muncul pada saat terjadi transfer sejumlah dana Negara dari berbagai daerah lalu dikirimkan kepusat.[10]
Seperti pada halnya para pemikir Muslim diabad klasik, al-Mawardi menyebutkan bahwa sumber-sumber pendapatan Negara islam terdiri dari Zakat, Ghanimah, Kharaj, Jizyah, dan Ushr. Terkait dengan pengumpulan harta zakat, al-Mawardi membedakan antara kekayaan yang tampak dengan kekayaan yang tidak tampak. Pengumpulan zakat atas kekayaan yang tampak, seperti hewan dan hasil pertanian, harus dilakukan langsung oleh Negara, sedangkan pengumpulan zakat atas kekayaan yang tidak tampak, seperti perhiasan dan barang dagangan, diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.[11]
Lebih jauh al-Mawardi berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan Negara tersebut apabila tidak mampu memenuhi kebutuhann anggaran Negara atau terjadi defisit anggaran, Negara memperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada public. Secara historis, hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Untuk membiayai kepentingan perang dan kebutuhan social lainnya dimasa awal pemerintahan Madinah.[12]
Menurut al-Mawardi, pinjaman public harus dikaitkan dengan kepentingan public. Nemun demikian, tidak semua kepentingan public dapat dibiayai dari dana pembiayaan public. Ia berpendapat bahwa ada dua jenis biaya untuk kepentingan public, yaitu biaya untuk pelaksnaan fungsi-fungsi mandatory Negara dan biaya untuk kepentingan umum dana kesejahteraan masyarakat. Dana pinjaman public hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan berbagai barang atau jasa yang disewa oleh Negara dalam kerangka mandatory functions. Sebagai gambaran, al-Mawadi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban Negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan Negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak mencukupi, Negara dapat melakukan pinjaman kepada public untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.[13]  
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pinjaman public hanya memperbolehkan untuk membiayai kewajiban Negara yang bersifat mandatory functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, Negara dapat memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-dana lain, seperti pajak.[14]
Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman public dilakukan jika didukung oleh kindisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan konsumtif. Disamping itu, kebijakan pinjaman public merupakan  solusi terahir yang dilakukan oleh Negara dalam menghadapi defisit anggaran.[15]
D.    PERPAJAKAN
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas Kharaj  harus berfariasi sesuai dengan factor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sisitem irigasi.
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai factor-faktor penilaian Kharaj. Kesuburan tanah merupakan factor yang sangat penting dalam melakukan penilaian Kharaj karena sedikit-banyaknya jumlah produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga berpengaruh terhadap penilaian kharaj karena berbagai jenis tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda. Begitupula halnya dengan sistem irigasi.
Disamping ketiga factor tersebut, al-Mawardi  juga mengungkapkan factor yang lain, yitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Factor terahir ini juga sangat relevan karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan al-Mawardi keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam melakukan penilaian suatu objek Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, system irigaasi dan jarak tanah ke pasar”.
Tentang metode penetapan Kharaj, al-Mawardi menyarankan untuk mengguanakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah islam, yaitu:
a.       Metode Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini merupakan Fixed-Tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak, selama tanah tersebut bisa ditanami.
b.      Metode penetapan Kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini, tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek Kharaj.
c.       Metode Musaqah yaitu metode penetapan Kharaj berdasarkan presentase dari hasil produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman mengalami masa panen.
Secara kronologis, metode pertama yang digunakan umat islam dalam penerapan kharaj adalah metode Misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada masa khalifah Umar ibn Khatab berdasarkan masukan dari para sahabat yang melakukan survey. Pada masa ini, pajak ditetapkan tahunan pada tingkat yang berbeda secara Fixed  atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses keair, sekalipun tidak ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh Negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixed. Melalui penggunaan metode ini, Khalfah Umar ingin menjamin pendapatan Negara pada setiap tahunnya demi kepentingan ekspansi, sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih hasil produksi rendah.
Metode yang kedua juga pernah diterapkan pada masa Umar. Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada bebarapa wilayah tertentu saja, terutama di Syiria. Metode yang terahir, Muqasamah, pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, Khususnya pada masa dinasti Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.
E.     BAITUL MAL
Seperti yang telah dikemukakan, al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja Negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, Negara membutuhkan lembaga keuangan Negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan Negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal, al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain.[16] Ia juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat surplus, guberbur mengirimkan sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan sebaggian harta Baiitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami deficit. Kemudian dilihat dari tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan public. Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal kedalam dua hal, yaitu :
a.       Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
b.      Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut, kategori pertama dari tanggung jawab Baitul Mal yang terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari sedekah. Kerena pendapatan sedekah yang diperuntukan bagi klompok masyarakat telah ditertentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum, Negara hannya diberi kewenangan untuk mengatur pendaptan itu sesuai apa yang telah digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori tanggung jawab yang pertama merupakan pembelanjaan yang bersifat tetap dan minimum.
Kemudian kategori tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari Fai. Menurut al-Mawardi, seluruh jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum dan bukan milik perseorangan secara khusus merupakan bagian dari harta Baitul Mal. Oleh karena itu, pendapatan fai  yang diperuntukan bagi seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta Baitul Mal.
Lebih jauh, al-Mawardi mengklasifikasikan kategori yang kedua ini kedalam dua hal.
Pertama, tanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan pembiayaan pengadaan senjata. Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, berapapun besarnya.
Kedua, tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum. Al-Mawardi menyatakan bahwa pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal. Jika terdapat dana yang cukup dari Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab social (fardh kifayah) seluruh kaum muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab Negara, uraian al-Mawardi tersebut juga menunjukan bahwa dasar pembelanjaan public dalam Negara islam adalam Maslahah (kepentingan umum). Hal ini berarti bahwa Negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaan maslahah dan kemajuannya.
Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban Negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka karena ‘pemenuhan kebutuhan’ merupakan istilah yang relative. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebingga terbebas dari 1 Dinar, sementara yang lain mungkin membutuhkan 100 dinar.
Disamping itu al-Mawardi berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan diwilayah tempat zakat itu diambil. Pengalihan zakat kewilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan mustahik zakat diwilayah tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau terdapat surplus, maka mereka yang paling berhak menerimannya adalah yang terdekat wilayah tempat zakat tersebut diambil.
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal agar berjalan lancar dan tepat sasaran, Negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhaikan kebutuhan public serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteran bagi masyarakat umum. Al-mawardi menegaskan, jika mekanisme pengadaan air minum kekota mengalami kerusakan, atau dinding sekitarnya bocor, atau kota tersebut banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air, maka Muhtasib (petugas hisab) harus memperbaiki system air minum, merekonstruksi dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang miskin, karena hal ini adalahh kewajiban baitul Mal bukann kewajiban Masyarakat.
Disamping menguraikan teori tentang pembelanjaan public,, al-Mawardi ternyata memahami dampak ekonomi pengalihan pendapatan melalui kebijakan public. Ia menyatakan: “ Setiap penurunan dalam kekayaan public adalah peningkatan kekayaan Negara dan setiap penurunan dalam kekayaan Negara adalah peningkatan dalam kekayaan public.”
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pembelanjaan public, seperti halnya perpajakan, merupakan alat efektif untuk mengalihkan sumber-sumber ekonomi. Pernyataan al-Mawradi tersebut juga mengisyaratkan bahwa pembelanjaan public akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan.



F.     KESIMPULAN
Setelah dipaparkan dengan panjang lebar pada bagian terdahulu, maka dalam kesimpulan ini menarik untuk melihat apa yang dinyatakan oleh Syed Nawab Haidar Naqvi yang menyimpulkan dua point penting yang berkenaan dengan keadilan ekonomi, yaitu Pertama, pandangan Islam terhadap keadilan sosial ekonomi dilandaskan pada prinsip bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah (QS, 3 : 180). Sebagai khalifatullah fi al-ardh manusia diberi wewenang untuk mengelolanya dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan seluruh makhluk. Pemilikan manusia hanyalah bersifat relatif.
Kedua, ajaran Islam seperti yang termuat dalam al-Qur’an tak henti-hentinya menggalakkan mekanisme pendistribusian kembali pendapatan yang sifatnya built in, yang lebih diefektifkan lagi oleh pengaitannya dengan ridha Allah.
Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak mengambil sumber dari buku “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam” karya Ir. H. Adi Warman Ashar Karim,SE. M.BA.












DAFTAR PUSTAKA
Audi, Rif’at al-, Min al-Turats: al-Iqtishah li al-Muslimin, Makkah: Rabithah ‘alam al-islami, 1985
Azmi,Sbahuddin, Islamic Ekonomic: Public Finance in Early Islamic Thought, New Dehli : GoodWord Books, 2002
Siddiqi, M. Najatullah, History of Islamic Economic Thought, dalam Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awam, (ed), Lectures on Islamic Economic, Jeddah: IRTI-IDB,1992







[1]  Rifa’at Al-Audi, Min at-Turats : al-Iqtishad li al-Muslimin (makah: Rabithah ‘Alam al-Islami,1985), cet.ke-4,hlm.185.
[2]  M. Najatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought: foundation, Evolution and Needed Direction, dalam Abdul Hasan M. Sideq dan Aidit Ghazali (ed), Readings in Islamic Economic Thought (Selangor Darul Ehsan: Longman Malaysia, 1992), hlm. 18  
[3] Sabahuddin Azmi, Islamic Ekonomic: Public Finance in Early Islamic Thought (New Dehli: GoodWord Books, 2002), hlm. 34
[4]  Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah (Bairut: Dar al-Kutub, 1978), hlm.5.
[5]  Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.40.
[6] Al-Mawardi, Op. Cit., hlm 245.
[7]  Ibid.
[8]  Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.43.
[9]  Al-Mawardi, Op. Cit., hlm. 15-16.
[10]  Ibid., hlm.199
[11]  Ibid., hlm.113
[12]  Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.87.
                                           
[13] Al-Mawardi, Op. Cit., hlm. 214.

[14]  Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.88.
[15]  Ibid.,
[16] Al-Mawardi, Op. Cit., hlm. 215.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar