Rabu, 22 Mei 2013

Pemikiran Ekonomi Al-Saybani



BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Dalam Islam, prinsip utama dalam kehidupan umat manusia adalah Allah swt merupakan Zat Yang Maha Esa. Ia adalah satu-satunya Tuhan dan Pencipta seluruh alam semesta, sekaligus Pemilik, Penguasa serta Pemelihara Tunggal hidup dan kehidupan seluruh makhluk yang tiada bandingan dan tandingan, baik di dunia maupun di akhirat. Ia adalah Subbuhun dan Quddusun, yakni bebas dari segala kekurangan, kesalahan, kelemahan, dan berbagai kepincangan lainnya, serta suci dan bersih dalam segala hal.
Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat.  Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Dalam kesempatan pembuatan makalah ini kami akan membahas tentang sejarah pemikiran ekonomi Abu Yusuf dan as-Syaibani.

2.    Rumusan Masalah
1.      Seperti apa riwayat hidup Imam Al-Syaibani ?
2.      Bagaimana perkembangan hidup Al-Syaibani?
3.      Siapa guru Imam Al-Syaibani, dan karya-karyanya ?
4.      Apa konsep teori yang dikemukakan Imam Al-Syaibani ?
5.      Bagaimana relefansi antara teori yang dikemukakan dengan realita saat ini?
3.    Tujuan
1.      Mengetahui riwayat hidup Imam Al-Syaibani
2.      Mengetahui perkembangan hidup Al-Syaibani
3.      Mengetahui guru Imam Al-Syaibani, dan karya-karyanya
4.      Mengetahui konsep teori yang dikemukakan Imam Al-Syaibani
5.      Mengetahui relefansi antara teori yang dikemukakan dengan realita saat ini



BAB II
PEMBAHASAN

I.                   Riwayat Hidup
Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasit, ibu kota dari Irak pada masa akhir pemerintah Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab[1].
Bersama orang tuanya, Al-Syaibani pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar memahami fiqh ahl al-Ra’y (yang mengandalkan akal), dia juga mempelajari sastra, bahasa, syair, termasuk gramatika, serta mempelajari ilmu agama, seperti alquran, hadist dan fiqh kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri bin Dzar, dan Malik bin Maghul.
Ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi yang berperan besar mengembangkan dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah. Pendidikannya berawal di rumah di bawah bimbingan langsung dari ayahnya, seorang ahli fikih di zamannya. Pada usia belia asy-Syaibani telah menghafal Alquran. Pada usia 19 tahun ia belajar kepada Imam Abu Hanifah. Kemudian ia belajar kepada Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Dari kedua imam inilah asy-Syaibani memahami fikih Mazhab Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama mazhab tersebut. Asy-syaibani sendiri di kemudian hari banyak menulis pelajaran yang pernah diberikan Imam Abu Hanifah kepadanya.
Ia belajar hadis dan ilmu hadis kepada Sufyan as-Sauri dan Abdurrahman al-Auza’i. di samping itu, ketika berusia 30 tahun ia mengunjungi Madinah dan berguru kepada Imam Malik yang mempunyai latar belakang sebagai ulama ahlul hadis dan ahlurra’yi. Berguru kepada ulama-ulama di atas memberikan nuansa baru dalam pemikiran fikihnya. Asy-Syaibani menjadi tahu lebih banyak tentang hadis yang selama ini luput dari pengamatan Imam Abu Hanifah.
Dari keluasan pendidikannya ini, asy-Sayibani dapat membuat kombinasi antara aliran ahlurra’yi di Irak dan ahulhadis di Madinah. Ia tidak sepenuhnya sependapat dengan Imam Abu Hanifah yang lebih mengutamakan metodologi nalar (ra’yu). Ia juga mempertimbangkan serta mengutip hadis-hadis yang tidak dipakai Imam Abu Hanifah dalam memperkuat pendapatnya. Di Baghdad asy-Syaibani, yang berprofesi sebagai guru, banyak berjasa dalam mengembangkan fikih Mazhab Hanafi, Imam asy-Syafi’I sendiri sering ikut dalam majelis pengajian asy-Syaibani. Hal ini ditopang pula oleh kebijaksanaan pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Tidak mengherankan kalau Imam Abu Yusuf, yang diangkat oleh Khalifah Harun ar-Rasyid (149 H/766 M-193 H/809 M) untuk menjadi hakim agung (qadi al-qudah), mengangkat asy-Syaibani sebagai hakim di ar-Riqqah (Irak).

II.                Perkembangan kehidupan Imam Al-Syaibani
Pada usia 14 tahun al- Syaibani berguru kepada Abu Hanifah selama empat tahun, setelah belajar 4 tahun, Abu Hanifah meninggal dunia dan ia tercatat sebagai penyebar Mazhab Hanafi. Al-Syaibani termasuk salah seorang murid Abu Hanifah yang sangat cemerlang. Ketika Abu Hanifah meninggal dunia 183 H/798 M, dia pindah ke Madinah dan belajar kepada Malik dan al-Awza’i, lalu dia menguasai fiqh yang mengandalkan hadis. Al-Syaibani mempelajari fiqh Abu Hanifah dari dua segi[2].
Pertama, dia belajar dari mazhab Hanafi menurut apa yang dia dengar dari para ahli hadis dan fukaha di Madinah. Kedua, dia belajar dari pemilahan masalah-masalah ushul fiqih. Pada zamannya dia dikenal sebagai orang yang ahli dalam hitungan yang sangat diperlukan dalam melakukan pembagian warisan, dan lain sebagainya.
Selain beinteraksi dengan para ulama al-ra’yi, Al-Syaibani juga berinteraksi kepada para ulama ahl al-hadis. Ia terus berkelana keberbagai tempat seperti Makkah, Syria, Basrah dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. Ia pernah bertemu dengan Al-Syafi’I ketika belajar al-muwatta pada Malik bin Anas. Al-syaibani telah banyak mengetahui mengenai hadist yang luput dari perhatian Abu Hanifah.karena keluasan pendidikannya, ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl al-ra’yi di irak dengan ahl al-hadis di Medinah[3].
Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiya. Ia mempunyai peranan penting dalam mejelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan Mazhab Hanafi, kebijakan pemerintah menetapkan Mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara. Setelah Abu Yusuf meninggal dunia, khalifah Haru Al-Rasid mengangkat Al-syaibani sebagai hakimdi kota Riqqah, Irak. Namun tugas ini hanya berlangsung singkat kerena ia mengundurkan diri untuk lebuh berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqh. Al-Syaibani meninggal dunia tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray, dekat Teheran, pada usia 58 tahun.

III.             Karya-karya
Dalam menulis pokok-pokok pemikiran fiqhnya, Al-Syaibani menggunakan istihsan sebagai metode ijtihadnya. Ia merupakan sosok ulama yang sangat produktif. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu[4]:
a.       Zhahi al-Riwayah
Kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam ilmu fikih. Asy-Syaibani lah yang menukilkan dan merekam pandangan Imam Abu Hanifah dalam Zahir ar-Riwayah ini. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat.
Keenam kitab ini berisikan pendapat Imam Abu Hanifah tentang berbagai masalah keislaman, seperti fikih, usul fikih, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab ini kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w.334 H/945 M) salah seorang ulama fikih Mazhab Hanafi, dalam salah satu kitab yang berjudul al-Kafi[5].
b.      Al-Nawadir
Kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalahAmali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilahdan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). 
Ar-Radd ‘ala ahl al-Madinah (penolakan pandangan orang-orang Madinah), az-Ziyadah (pendapat asy-Syaibani yang tidak terangkum dalam keempat buku tersebut di atas), kitab yang dikarangnya setelah al-Jami’ al-Kabir serta al-Asar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitabny al-Umm. Imam asy-Syafi’I menulis bantahan dan kritik secara khusus terhadap asy-Syaibani dengan judul ar-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani).
Al-Syaibani telah menulis beberapa buku antara lain Kitab al-Iktisab fiil rizq al-Mustahab (book on Earning a clean living) dan Kitab al-Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan syari’at tentang ijarah (sewa-menyewa) yaitu suatu transakasi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu., tijarah (perdagangan) yaitu suatu tansaksi dengan cara tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat , zira’ah (pertanian) yaitu suatu usaha dengan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuha hidup, dan sina’ah (industri).
Prilaku konsumsi ideal orang muslim menurutnya adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka meminta-minta. Buku kedua membahas berbagai bentuk transasksi atau kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya saham (prepaid order), syirkah (partnership), dan mudharabah. Biku yang ditulis Al-Syaibani ini mengandung tinjauan normative sekaligus positif.
Dan buku al-Siyar al-Kabir adalah buku karangannya yang terakhir. Pembahasannya mencakup semua hal yang berkaitan dengan peperangan dan kaitannya dengan kaum musyrikin, musuh kaum muslim, dan hukum-hukumnya. Selain itu, bukunya membahas tentang tawanan perang (laki-laki, perempuan, dan anak-anak), masuk Islamnya orang musyrik, kemanan mereka, utusan yang diutus memasuki Dar al-islam dari Dar al-harb, kuda-kuda perang yang dipakai oleh mereka, rampasan perang, perdamaian dan perjanjiannnya, tebusan dan hukum senjata, budak, tanah yang dikuasai oleh musuh di negeri musuh, orang Islam yang berada di negeri musuh, pelanggaran perjanjian, kejahatan dalam perang, dan beratus masalah yang berkaitan dengan musuh dan hubungan kaum muslimin dan mereka pada saat perang maupun damai.
Al-Syaibani bersandar sepenuhnya kepada alquran dan hadis yang meriwayatkan peperangan Rasul yang berbicara tentang peristiwa yang betul-betul terjadi, dan hukum-hukum yang terjadi pada saat terjadinya peperangan kaum Muslim dan penakluka wilayah yang mereka lakukan. Dia juga menggunakan perbandingan kepada masa-masa tertentu. Harun al-Rayid terheran-heran ketika menyimak isi buku ini dan memasukkan ke dalam daftar hal-hal yang patut dibanggakan pada masa kekahalifahannya. Perhatian terhadap buku ini juga terlihat pada masa daulah Utsmaniyah, karena buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan dijadikan sebagai dasar bagi hukum-hukum pejuang daulah Utsmaniyah ketika mereka berperang melawan negara-negara Eropa. selain itu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani adalah salah seorang tokoh penulis dalam hukum internasional.

IV.             Pemikiran Ekonomi
            Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Al Syaibani, para ekonom muslim banyak merujuk pada kitab al Kasb. Secara keseluruhan, kitab ini mengemukakan kajian mikro ekonomi yang berkisar pada teori Kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman perilaku produksi dan konsumsi. Kitab tersebut termasuk kitab pertama didunia islam yang membahas permasalahan ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila Dr. Al Janidal menyebut Al Syaibani sebagai salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam islam.

1.             Al Kasb (Kerja)
Al Syaibani mendefinisikan al kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional[6].
 Dalam ekonomi islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas produksi.
Menurut Al Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsure pokok kehidupan yaitu Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta[7]. Dengan demikian, seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yna memiliki maslahah tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan(maqashid) syariah, yakni memelihara kemaslahatan manusia didunia dan akhirat, tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi.  Dalam ekonomi konvensional, nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants) orang per orang dan ini bersifat subjektif[8].
Dalam pandangan islam, aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban imaratul kaum, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Berkenaan dengan hal tersebut, Al Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah SWT dan karenanya hokum bekerja adalah wajib.Ia menguraikan bahwa untuk menunaikan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan kekuatan jasmani itu sendiri merupakan hasil mengkonsumsi makanan yang diperoleh melalui kerja keras.
Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunaikan suatu kewajiban dan karenanya hokum bekerja adalah wajib.Dari hal tersebut, bahwa orientasi bekerja dalam pandangan Al Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah Swt. Kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah, hak hidup, hak keluarga, dan hak masyarakat.
Dengan menerapkan instrument incentive-reward and punishment, setiap komponen masyarakat dipacu dan dipacu untuk menghasilkan sesuatu menurut bidangnya masing-masing. Sementara, di sisi lain, pemerintah juga berkewajiban memayungi aktivitas produksi dengan memberikan jaminan keamanan dan keadilan bagi setiap orang.   Imam asy-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah Swt dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil berikut:
1.            Firman Allah Swt, QS. Al-Jumu’ah: 10

“ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
2.            Hadits Rasulullah Saw,
“ Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.”
Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab r. a. lebih mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayyidina Umar menyatakan, dirinya lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari sebagian karunia Allah Swt di muka bumi daripada terbunuh di medan perang, karena Allah Swt mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya daripada para mujahidin melalui firman-Nya:

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah….”(QS. Al-Muzammil: 20)
Imam asy-Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka[9]. Dalam pandangan Imam asy-Syaibani, orientasi bekerja adalah hidup untuk mencapai keridhaan Allah Swt. Kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi, dan distribusi yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kerja memiliki peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah Swt, hak hidup, hak keluarga dan hak masyarakat[10].

2.                  Kekayaan dan Kefakiran
Menurut Al Syaibani sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi meminta-minta (kafalah).
Di sisi lain, ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya digunakan untuk kebaikan[11].

3.             Klasifikasi Usaha-usaha perekonomian
Menurut Al-syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama usaha jasa meliputi usaha perdagangan. Diantara keempat usaha perekonomian tersebut, Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari usaha lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksakan berbagai kewajibannya. Dalam perekonomian, pertanian merupakan suatu usaha yang mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Allah telah menyediakan sawah dan ladng untuk bercocok tanam. Dan makanan yang kita makan menyerupakan hasil dari pertanian.
Dari segihukum, Al-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan dan jika tidak seorang pun yang menjalankannya, tata roda perekonomian akan hancur berantakan yang berdampak pada semakin banyaknya orang yang hidup dalam kesengsaraan. Maka dari itu kita disuruh untuk bekerja dan berusa di muka bumi ini.
Barbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang-orang yang ditanggunganya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidak akan terpenuhi, begitu pula orang yang ditanggungnya, sehingga akan menimbulkan akan kebinasaan bagi dirinya dan tanggungannya.

4.             Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu makan, minum ,pakaian, dan tempat tinggal. Para ekonom yuang lain mengatakan bahwa kempat hal ini adalah tema ekonomi.

5.             Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Al-syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah SWT memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, Allah tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT berfiman dalam surat az-Zukhruf ayat 32

Artinya: “dan kami telah meninggikan sebagian mereka ats sebagian yang lain beberapa derajad,”
Al-syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada-Nya. Dan Allah mengatakan dalam Qur’an surat al-Maidah ayat : 2
Artinya:” dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa…”
Rasulullah saw bersabda:
“ sesungguhnya Allah SWT selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara muslimnya.” (HR Bukhari-Muslim)
Selain itu Al-syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau membantu suadaranya tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
Suatu pekerjaan yang baik merupakan suatu ibadah, agar kita bisa hidup lebih sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jika manusia hanya menunggu karunia dari-Nya, niscaya itu tidak akan perna ada rezeki untuk dirinya karna tidak mau berusaha. Dan bersyukurlah atas rezeki yang telah Allah berikan. Karna Allah akan menambahkan rezeki bagi orang yang mau mensyukurinya.

V.                Relefansi Antara Teori yang Dikemukakan dengan Realita Saat ini
Setiap manusia wajib bekerja untuk meraih rezeki Allah swt. Jika manusia tidak bekerja, maka mereka tidak akan dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Oleh karena itu, setiap orang harus mampu memanfaatkan potensi yang ada pada dirinya untuk mengolah sumber daya alam yang ada. Jika kita lihat saat ini, kewajiban untuk bekerja telah mendorong sebagian orang berusa keras untuk mencari rizki Allah bahkan mereka berlomba-lomba menciptakan lapangan kerja.
Namun, juga tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masih banyak sekali orang yang tidak memiliki pekerjaan, mereka hanya berpangku tangan menanti rezeki dari  Alllah. Inilah realita yang ada, dimana masih banyak sekali orang yang bermalas-malasan untuk bekerja, sekalipun itu adalah kewajiban mereka. Hal ini yang membuat perekonomian sulit untuk berkembang dan tingkat kemiskinan tidak berkurang serta banyak sumber daya alam belum dimanfaatkan.
Jika kita lihat, pertanian tetap memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Produk-produk pertanian adalah produk yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Jadi, bisa dibayangan jika pertanian tidak ada, maka manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan jika manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, otomatis mereka akan mati dan aktivitas produksi di sector lain pun akan berhenti. Itulah sebabnya pertanian tetap memegang peranan penting dalam aktivitas ekonomi atau ketersediaan lapangan kerja.
Namun, saat ini pertanian di Indonesia semakin tidak produktif. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya lahan untuk pertanian karena  akibat alih fungsi lahan ke sector pembangunan dan industry. Juga akibat kurangnya minat orang Indonesia tehadap pertanian karena telah disibukkan dengan hal-hal lain. Bisa dibayangkan jika produktivitas pertanian di Indonesia semakin menurun, maka akan sulit sekali untuk mendapatkan bahan pokok untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, sehingga Indonesia akan menjadi negara importir bahan pokok, yang seharusnya tidak terjadi melihat alam Indonesia yang luas dan cocok untuk pertanian.
Sekarang menjadi tugas kita bersama untuk berpikir keras dan melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Kita harus berupaya untuk membangkitkan semangat kerja saudara-saudara kita dan menyadarkan mereka akan pentingnya pertanian, sehingga mereka mau memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk kesejahteraan bersama.
Dengan begitu maka aktivitas ekonomi akan meningkat, dan memberikan nilai positif terhadap semua aspek. Pada dasarnya banyak cara agar pertanian di Indonesia ini cepat berkembang, tetepi pada kenyataanya masyarakat tidak bisa melihat situasi ekonomi yang global ini. Masyarakat hanya bisa meniru dan tidak mampu memberikan situasi ekonomi yang baik untuk meingkatkan kualitas ekonomi negara ini. Coba bandingkan dengan ekonomi yang ada di luar negeri seperti Amerika, pasti sangat jauh.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai iklim tropis, sudah seharusnya mampu memproduksi produk-produk unggulan dan berkualitas dalam sector pertanian. Tapi nyatanya Indonesia masih sering menginport hasil pertanian dari luar negri.  Ini merupakan masalah buat negara Indonesia. Bagamimana tidak, kalau pertanian saja harus menginpor dari luar negri bagaimana bisa Indonesia menjadi negara yang mandiri. Jika hal ini berlalut-larut akan mengakibatkan dampak ke aspek yang lain juga.
















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasit, ibu kota dari Irak pada masa akhir pemerintah Bani Umawiyyah. Merupakan Ahli fikih dan tokoh ketiga Mazhab Hanafi yang berperan besar mengembangkan dan menulis pandangan Imam Abu Hanifah.
1.      Karya karya Al-Syaibani
a.       Zhahi al-Riwayah
Kitab-kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Kitab Zahir ar-Riwayah terdiri atas enam judul, yaitu al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ as-Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir, dan az-Ziyadat.
b.      Al-Nawadir
Kitab-kitab yang ditulis oleh asy-Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam an-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan asy-Syaibani tentang berbagai masalah fikih), ar-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah hilah dan jalan keluarnya) ditulis ketika menjadi hakim di Riqqah (Irak). 
2.      Pemikiran ekonomi Al-Syaibani
·         Al Kasb (Kerja)
Al Syaibani mendefinisikan al kasb (kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional.
·         Kekayaan dan Kefakiran
Menurut Al Syaibani sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya.
·         Klasifikasi Usaha-usaha perekonomian
Menurut Al-syaibani, usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian. Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga, yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Menurut para ulama usaha jasa meliputi usaha perdagangan.
·         Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi
Al Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu makan, minum ,pakaian, dan tempat tinggal. Para ekonom yang lain mengatakan bahwa kempat hal ini adalah tema ekonomi.
·         Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Al-syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Manusia tidak akan bisa hidup sendirian tanpa memerlukan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan manusia berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Oleh karena itu, Allah SWT memberi kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, Allah tidak akan mempersulit makhluknya yang mau berusaha tetapi akan memberikan jalan atau petunjuk untuk dirinya. sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
3.      Relefansi Antara Teori yang Dikemukakan dengan Realita Saat ini
Jika kita lihat, pertanian tetap memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Produk-produk pertanian adalah produk yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Jadi, bisa dibayangan jika pertanian tidak ada, maka manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan jika manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, otomatis mereka akan mati dan aktivitas produksi di sector lain pun akan berhenti. Itulah sebabnya pertanian tetap memegang peranan penting dalam aktivitas ekonomi atau ketersediaan lapangan kerja.





[1] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 231
[3]ibid
[5]ibid
[7] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syariah menurut asy-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 71
[8] Keterangan lebih lanjut lihat, Taqiyuddin Al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Ekonomi Islam. (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) 1-46
[9] Surahman Hidayat, EtikaProduksi Dalam Islam, Rubrik Iqtishad Harian Umum Republika.  28 Oktober 2002
[10] Wordpres.com, Pemikiran Ekonomni asy-syaibani.
[11] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 237-238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar