Senin, 17 Juni 2013

Hiwalah (Fiqh Muamalah)


A.    PENGERTIAN  HIWALAH

     Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:


النّقل من محلّ إلى محل

Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”[1]

 Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah para ulama berbeda beda pendapat antara lain sebagai berikut:

1.    Menurut hanafiyah yang di maksud hiwalah adalah


Hiwalah adalah memindahkan tuntunan atas utang dari tanggungan yang berutang

 ( mudin) kepada tanggungan multazim

 معنى الحوالة

لغة: الحوالة من التحويل و هي بفتح الحاء وقد تكسر قال ابن حجر رحمه الله:

(وهي مشتقة من التحويل, او من الحول : حال عن العهد اذا انتقل اليه)

اصطلاحا: نقل دين من ذمة الى ذمة اخرى[2]


2.      Menurut ibnu hajar yang di maksud dengan hiwalah adalah:

“ akad yang menetepkan pemindahan beban utang dari seorang kepada yang lain”

3.      Menurut Muhammad syatha al dimyati  yang dimaksud dengan hiwalaha adalah:

“ akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”

4.      Menurut Sayid sabiq yang dimaksud dengan hiwalah adalah :[3]

“ hiwalah adalah pemindahan utang dari tanggungan orang yang memindahkan

 ( al muhil ) kepada tanggungan orang yang di pindahiutang ( muhal alaih)

Dari defenisi di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang dari orang yang berutang ( al muhil) kepada orang lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.[4]

B.     DASAR HUKUM HIWALAH

1.      sunnah

Hiwalah merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh  masyarakat.hal ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan dari abu hurairah bahwa rasul saw bersabda[5]

 مطل الغنيُ ظلم, وإذاأتبع احدكم على ملئ فليتبع



Artinya

           Menunda – nunda pembayaran  oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang diantara kamu di ikutkan ( dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah ( HR bukhori dan mislim)[6]

Pada hadist tersebut rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya / mampu hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihiwalahkan

( muhal alaih)  dengan demikian haknya dapat terpenuhi

          

2.      ijma’

ulama bersepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang / benda, karena hawalah adalah pemindahan utang, oleh karena itu harus pada utan atau kewajiban fiannsial.[7]

3.      FATWA DSN NO, 12/ DSN – MUI/ 1V/2000 tentang rukun hiwalah

C.     RUKUN HIWALAH

ركن الحوالة كن الحوالة عند الحنفية: الاجاب من المحيل, والقبول من المحال والمحال

Maksud dari penggalan kalimat diatas adalah:

 Menurut mazhab Hanafi rukun hiwalah ada dua iaitu ijab yang diucapkan oleh Muhil dan qabul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal alaih. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hiwalah ada enam macam yaitu:[8]

Sedangkan rukun hiwalah menurut mazhab maliky adalah:

1.      Orang yang memindahkan utang ( muhil)

2.      Hutang yang di pindahkan ( muhal bih)

3.      Ijab dan Kabul ( shighat)[9]

Sedangkan menurut mayoritas ulama selain kedua diatas adalah

1.      Muhil ( orang yang berutang dan berpiutang)

2.     Muhal (yaitu orang yang berpiutang)
3.      Muhal alaih ( orang yang berhutang dan  berkewajiban membayar utang kepada muhal)

4.      Muhal bih ( hutang muhil kepada muhal)

5.      Utang muhal alaih kepada muhil

6.      Shigat

Dengan demikian muhal adalah orang yang berpiutang atau memberi pinjaman kepada muhil , muhil berpiutang kepada muhal alaih namun juga berhutang kepada muhal. Sedangkan muhal alaih adalah orang yang berhutang kepada muhil, bila hiwalah dilaksanakan posisinya tinggal antara muhal dan muhal alaih. Pihak yang berpiutang dan pihak yang harus membayar utang.[10]



Contoh:

 Ali mempunyai sejumlah hutang kepada Bakar. Sedang Bakar mempunyai sejumlah hutang pula kepada Umar, menurut jumlah yang sama. Oleh kerana Bakar tidak mampu untuk membayar hutangnya, maka Bakar berunding dengan Ali supaya hutangnya itu diminta saja kepada Umar. Dalam hal ini, maka Umarlah yang akan berhubungan langsung dengan Ali, sedang Bakar terlepas dari tanggung jawab hutang

Maka Ali dinamakan Muhtal (dipindahkan haknya). Sedangkan Bakar dinamakan Muhil (memindahkan hak). Sementara Umar pula dinamakan Muhal alaih ( menanggung hak[11]

D.    SYARAT  SAHNYA HIWALAH

1.      Syarat muhil

a.       Muhil harus aqil dan baliq , hiwalah yang dilakukan oleh orang yang mengalami ngangguan jiwa dan anak yang belum berakal adalah tidak sah. Karena akal merupakan syarat dalam bertindak.

b.      Adanya kerelaan muhil, kalau muhil dipaksa maka hawalah tidak syah.

2.      Syarat muhal

a.       Muhal harus aqil( berakal sehat) karena Kabul merupakan salah satu rukun dalam akad hiwalah. Seorang yang tidak berakal tidak boleh melakukan akad,dari  muhal juga di syaratkan sudah balig, bila ia belum balig maka di perlukan  adanya izin dari walinya.

b.      Adanya kerelaan muhal, tidak sah hawalah bila muhal di paksa

c.       Qabul muhal , harus pada majelis hawalah, seandainya muhal tidak berada dalam majelis akad, lalu berita akd itu sampai kepadanya, ia boleh menolak, sehingga akad itu tidak sah.[12]

3.      Syarat muhal bih

a.       Adanya hutang muhal alaih kepada muhil, kalau tidak ada hutang dalam hal ini, maka akad yang dilakukan itu adalah sebagai wakalah bukan  sebagai hawalah

b.      Hutang harus sesuatu yang lazim atau mengikat, setiap hutang yang tidak sah kafalah ( jaminan) nya, maka tidak sah pula untuk dijadikan hawalah.

c.       Adanya hutang muhal alaih kepada muhil sebelum akad tidak dianggap sebagai syarat sah hawalah bagi ulama mazhab hanafi. Hawalah dianggap sah, baik ada hutang muhal alaih kepada muhil atau pun tidak, [13]

E.     JENIS – JENIS  HAWALAH

1.      Hawalah muthlaqah

Ini terjadi jika seseorang memindahkan hutangnya agar ditanggung muhal alaih, sedangkan ia tidak mengaitkannya dengan hutang piutang mereka, sementara muhal alaih menerima hawalah tersebut.

Ulama selain mazhab hanafitidak membolehkan hiwalah semacam ini. Sebagian ulama berpendapat pengalihan utang secara muthlaq ini termasuk kafaah madhdah  (jaminan), untuk itu harus didasarkan ketiga belah pihak, yaitu orang yang mempunyai piutang, orang yang berhutang dan orang yang menanggung utang. [14]



2.      Hawalah muqayyadah

Ini terjadi  jika orang yang berhutang memindahkan beban hutangnya tersebut pada muhal alaih dengan mengaitkannya pada hutang muhal alaih padanya.inilah hawalah yang dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama. Namun kedua macamhiwalah tersebut dibolehkan berdasarkanhadist nabi yang diriwayatkan oleh abu hurairah[15]

3.      Hawalah al haq

Pemindahan hak atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut  dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan haknya

4.      Hawalah al dain

Lawan dari lawan al haq. Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang  kepada penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama [16]



F.      HUKUM YANG TERKAIT  DENGAN HAWALAH

Apabila hawalah telah dilaksanakan dan berjalan sah, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah, atau meninggal dunia , muhal tidak boleh lagi menuntut muhil, demikian pendapat mayoritas ulama. [17]

namun  sebagian ulama lain mengatakan, bahwa orang  yang menghutangkan, bahwa orang yang menghutangkan ( muhal) dapat kembali lagi kepada muhil , seandainya muhal alaih meninggal dunia, bangkrut, atau mengingkari hawalah.

Sebagian ulama berpendapat  jika muhil telah menipu muhal, karena ia meng hiwalahkan kepada orang yang kafir, maka tanggungan muhil kepada muhal tidak gugur. Muhal boleh menagih kembali kepada muhil untuk mengembalikan piutangnya.

Muhal mempunyai kewenangan untuk menuntut atau menagih muhal alaih atas hutang muhilkepada muhal. Alasannya hawalah adalah mengalihkan utang kepada muhal alaih dengan hutang yang dalam tanggungannya.[18]

G.    BERAKHIRNYA  HAWALAH

Berakhirnya hawalah karena beberapa hal

1.      Fasakh. apabila akad hiwalah telah fasakh ( batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana akad tercapai.

2.      Hak muhal ( utang) sulit untuk dapat kembali karena muhal alaih meninggal dunia, boros, ( safih) atau lainnya, dalam keadaan semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil. Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah, syafi’iah, hanabilah. Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah berpindah serta di setujuioleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal muhal alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar (penipuan) menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.

3.      Penyerahan harta oleh muhal alaih kepada muhal.

4.      Meninggalnya muhal atau muhal alaih mewarisi harta hiwalah.

5.      Muhal menghibahkan hartanya kepada muhal alaih dan ia menerimanya.

6.      Muhal menyerahkan hartanya kepada muhal alaih dan dia menerimanaya

7.      Muhal membebaskan muhal alai[19]

H.    APLIKASI DALAM PERBANKAN

A.    Kontrak hiwalah dalam perbankan biasanya diterapkan dalam :

1.      Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada pihak bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya kepada pihak ketiga.

2.      Post- dated check , dimanabank bertidak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut

3.      Bill discounting, secara prinsip bill discountingserupa dengan hawalah. Hanya saja nasabah harus membayarkann fee, sementara fee tidak didapati dalam kontak hawalah

The purpose of hiwalah facility is to help suppliers obtain cash capital in order tu carry on with productive activities. The bank is compensated for the cost of credit transfer. To anticipate potencial loss, the bank  needs to analysis the capacity of the indebtd party and verify the transaction between the party thattransfer a credit and verify the transaction[20]

Tujuan fasilitas hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang . untuk mengantisipasi kerugian yang timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutangdan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.[21]

I.       MANFAAT  HAWALAH  

1.      Memungkinkan peneyelesaian hutang dan piutang dengan cepat dan simultan

2.      Tersedianya talangan untuk hibah bagi yang membutuhkan.

3.      Dapat menjadi salah satu based income / sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah

Adapu resiko yang harus diwaspadai dari kontak hawalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi  ingkar janji untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank.[22]






PENUTUP

KESIMPULAN

·       Pengertian hiwalah

Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:

( terjemah)

النّقل من محلّ إلى محل

Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain

Menurut istilah

hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang dari orang yang berutang ( al muhil) kepada orang lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.

·         Dasar hukum hiwalah

1.      Sunnah

2.      Ijma’

3.      FATWA DSN NO, 12/ DSN – MUI/ 1V/2000

·         Rukun wiwalah

1.      Muhil ( orang yang berutang dan berpiutang)

2.      Muhal ( yaitu orang yang berpiutang

3.      Muhal alaih ( orang yang berhutang dan  berkewajiban membayar utang kepada muhal)

4.      Muhal bih ( hutang muhil kepada muhal)

5.      Utang muhal alaih kepada muhil

6.      Shigat

·         Syarat sahnya hiwalah

1.      Syarat muhil

2.      Syarat muhal

3.      Syarat muhal bih

·         Jenis – jenis hiwalah

1.      Hawalah muthlaqah

2.      Hawalah muqayyadah

3.      Hawalah al haq

4.      Hawalah al dain

·         Aplikasi dalam perbankan

1.      Factoring atau anjak piutang

2.      Post dated check

3.      Bill discounting







[1]Hendi suhendi , fiqih muamalah. ( Jakarta: raja grafindo persada 2002) hlm 99
[2] Abu abdul rahman adil bin yusuf al azzazi, darul aqidah
[3] Ahmad wardi muslich fiqih muamalah (Jakarta: AMZAH 2010)hlm 448
[4] Ahmad wardi muslich, fiqih muamalah (Jakarta: AMZAH 2010)hlm 448
[5] Muhammad safi’I Antonio,bank syariah wacana ulama dan cendekiawan( Jakarta: alvabet 1999)               hlm202
[6] Ibnu hajar al asqalani, terjemah bulugul maram( Surabaya:mutiara ilmu 2011) hlm 394
[7] Muhammad heykal,lembaga keuanagn islam tinjauan teoritis dan praktis( jakarta: nurul huda,2010) hlm103
[8] Wahba zuhaili, al fiqh islami wa adillatiha ( syiria: darul fikri 2007) hlm 4189
[9]Moh zuhri dipl, terjemah fiqih empat mazhab ( semarang: asy syifa, 1994) hlm 363
[10]  Muhammad syafi,I Antonio, bank syariah wacana ulam adan cendekiawan ( Jakarta : 1999) hlm 202
                  [11]http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/ fiqihmuamalah di akses tanggal 26 maret
[12]  ibid
[14] As carya, akad dan produk bank syariah ( Jakarta: raja wali pers, 2006) hlm 26
[15] Muhammad tahil mansuri,islamic law of contract and bussines and transaction ( new delhi: adam             publishers and distributors, 2006) hlm 305
[16] ibid
[17]  Jamil ukud, al fiqh ala al mazahib, al maktabah ats saqofah ad diniyah jilid 3
[18] ibid
[19] Ahmad wardi muslich, fiqih muamalah (Jakarta: AMZAH 2010)  hlm 452
[20] Adi warman karim, Islamic banking ( Jakarta: rajawali pers,2005) hlm 105
[21] Adi warman karim, bank islam ( Jakarta:raja wali pers, 2004) hlm 105
[22] Muhammad safi’I Antonio,bank syariah wacana ulama dan cendekiawan( Jakarta: alvabet 1999) hlm 209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar