BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ihya’ al-mawat
adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami sehingga tanah
tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan
sebagainya.
Islam
menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai perumahan dan menyebar di
berbagai pelosok dunia, menghidupkan (membuka) tanah-tanah tandus. Hal itu
dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah
kemakmuran dan kekuatan mereka.
Bertolak
dari hal tersebut, Islam menganjurkan pada penganutnya untuk menggarap tanah
yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan dan keberkahan
dengan mengelola tanah tersebut.
B. Rumusan
Masalah
A. Apakah pengertian ihya’ al-mawat?
B. Apa dasar hukum ihya’ al-mawat?
C. Bagaimana cara-cara ihya’ al-mawat?
D. Apa-apa saja objek yang berkaitan dengan ihya’
al-mawat?
E. Bagaimana hukum-hukum dalam ihya’ al-mawat?
F. Bagaimana syarat-syarat ihya’ al-mawat?
G. Bagaimana izin penguasa dalam ihya’
al-mawat?
H. Bagaimana ihya’ al-mawat dalam masalah
pertanian?
C. Tujuan
Penulisan
Memahami pengertian, dasar hukum, cara-cara, objek
yang berkaitan dengan ihya’ al-mawat, mengetahui hukum-hukum yang ada dalam ihya’
al-mawat dan apa-apa saja syarat ihya’ al-mawat, mengetahui bagaimana izin penguasa dalam ihya’ al-mawat,
dan bagaimana ihya’ al-mawat dalam memecahkan masalah pertanian
khususnya yang berkaitan dengan lahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ihya’
Al-Mawat
Kata ihya’ al-mawat terdiri
dari dua kata, bila diterjemahkan secara literer ihya’ berarti menghidupkan
dan mawat berasal dari maut berarti mati atau wafat. Ihya’
al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. "Bringing to Life" means putting a piece of
land to use by an individual and acquiring proprietary rights over it[1]. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan
cara apa pun, yang bisa menjadikan tanah tersebut hidup[2]
yakni dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha
orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.
The
Majelle mendefinisikan al-mawat sebagai "Those
lands which are not mulk property of anyone... the localities (of which)... are
far from the distant parts of the village or town, that the sound of a person
who has a loud voice cannot be heard from the houses which are in the extreme
limit of the town or village.”[3]
Secara terminologi, ada
beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama’ fiqh tentang ihya’
al-mawat :
1.
Menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
اصلاح الارض لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر زرعها لانقطاع الماء عنها من
العامر
Artinya:
Penggarapan lahan yang belun dimiliki dan digarap orang lain karena
ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman.
2. Menurut ulama’
Malikiyah adalah:
ما سلم عن اختصاص باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ) او بسبب كونه حريم عمارة
كمحتطب او مرعى لبلد
Artinya: Tanah
atau lahan yang selamat dari pengelolahan (sebab mengelola lahan itu
dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk mengelola lahan tersebut.
3.
Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو
بعد
Artinya: Penggarapan
tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari
pemukiman maupun dekat.
4.
Menurut ulama’ Hanabilah adalah:
الارض التى ليس لها مالك ولابها ماء ولا عمارة ولا ينفع بها
Aritnya: Lahan atau
tanah yang tidak ada pemiliknya, tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola,
serta tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
احياء الموات معناه إعداد الأرض الميتة التى لم
يسبق تعميرها و ﺗﻬﯿﺌﲥﺎ و جعلها صالحة للإنتفاع بها فى السكنى و الزرع و
نحو ذلك.
Dari pengertian di atas
jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah
penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk
dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan
bangunan. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang
bisa memiliki sebidang tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum
dimiliki seseorang.
Al-quran tidak
memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan rinci.
Al-quran hanya mengungkapkan secara umum tentang keharusan bertebaran di atas
bumi untuk mencari karunia Allah.
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? [5]
Artinya: Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat ini menganjurkan
setiap muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka
menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai
dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani maka
bercocok tanam di lahannya. Dalam hal ini menghidupkan lahan yang kosong sangat
dianjurkan dalam Islam karena menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak
produktifitas masyarakat semakin meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat
ini menganjurkan untuk menghidupkan lahan kosong.
B. Dasar Hukum Ihya’
Al-Mawat
Adapun landasan hukum
menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang
didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur
akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum
menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan syarat orang yang
menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan
yang sudah dimiliki orang lain[6].
Hadits yang berkenaan dengan ihya’
al-mawat adalah
عن عائشة رضي الله عنها,
ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست لأ حد فهو احق. قال عروة :
قضى به عمر رضي الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)[7]
Artinya : Dari
Aisyah r.a : Nabi SAW. pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak
dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah
berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya (H.R
Bukhari)
Artinya: Dari
Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan
tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan
At-Turmudzy)
Wahbah menjelaskan
bahwa hadits di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan tanah mati yang tidak
ada pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian
siapapun boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau
mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar di sekitar tanah tersebut.
Hadits ini juga menjelaskan bahwa syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan
tidur karena manusia sangat membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian,
perindustrian, dan lapangan perekonomian lainnya[9].
Dalam hadits
tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal apa
saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk dihidupkan,
dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam untuk
menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang
diturunkan Allah SWT. dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan
dan kemaslahatan umat manusia[10].
Dalam hal ini tidak ada bedanya
seorang Muslim dengan kafir dzimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintahan
Islam) karena hadits-hadits tersebut bersifat mutlak.
Lagi pula, harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi menjadi miliknya dan tidak bisa dicabut darinya. Ketentuan ini berlaku
umum. Hanya
saja, kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola
selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan
dengan cara digarap/dimanfaatkan. Abu Yusuf dalam al-Kharaj menuturkan
riwayat dari Said bin al-Musayyab. Disebutkan bahwa Khalifah Umar bin
al-Khaththab pernah berkata:
و ليس لمحتجر حق بعد ثلاث سنين”Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja
tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”[11]
C. Cara-cara Ihya’
Al-Mawat
Menurut Hafidz Abdullah
dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut
dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara
ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat
adalah sebagai berikut[12]:
a) Menyuburkan, cara
ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak
dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun
pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil
sesuai dengan yang diharapkan;
b) Menanam, cara ini
dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh
tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai
atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik
tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara
khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c) Menggarisi atau
membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak
mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia
harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d) Menggali parit,
yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya
orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian
menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.
D. Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’
Al-Mawat
Adapun obyek yang
berkaitan dengan ihya al-mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati,
bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa
dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam
(khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun
hanya mubah bagi imam. "Nothing
is lawful to any person but what is permitted by the Imam.”[13] Itulah yang kemudian
disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus
Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah
SAW, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh
beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan
dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan
pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus
meminta Rasul SAW. agar memberikannya[14].
Tidak semua lahan
kosong yang boleh dijadikan obyek ihya’ al-mawat. Menurut Ibn Qudamah,
lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada
pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang
menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada
pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat
dan lain sebagainya[15].
E. Hukum-hukum Ihya’
Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad
Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya
boleh dengan adanya dua syarat yaitu:[16]
1.
Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan
bumi mati, meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
2.
Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun
yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas
merdeka.
Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa
boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat)
dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong
dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara
musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan
tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan
menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan,
tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka
tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di
negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan
tidak boleh[17].
Para ulama Fiqh
menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi
syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah[18]:
a.
Pemilikan lahan itu.
Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap
sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan,
Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status
orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak
milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang
dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
b.
Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh
mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim.
Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil
pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang
muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil lahan
garapan itu.
c.
Seorang telah menggarap sebidang lahan
Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu
untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk
keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa
sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum
boleh.
F. Syarat-syarat Ihya’
Al-Mawat
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup
tiga hal, yaitu[19]
: orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
a.
Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah,
haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat
islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang
kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik
orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang
Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang
seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan
menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh
memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap
lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim
dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka
(jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu
pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan
non-muslim.
b.
Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi
jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara
islam maupun bukan, bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim
maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu
perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak
warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.
Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan
Menurut Imam Abu
Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak
mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut
ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus
mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak
perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf,
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa
seluruh lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika digarap oleh
seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu
adalah harta yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah
SAW, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi,
mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk
menghindari sengketa dikemudian hari.
G. Izin Penguasa Dalam Ihya’
al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda
pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib
diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis
menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa
(pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan
mengenai hal tersebut[20].
Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan
(tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk
ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin
dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya
untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi
normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh
tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif
di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah
kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang
menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah
tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan
area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan,
maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan
maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik
orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah
keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa yang
membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah
memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan
dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena
itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa).
Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu
merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya,
kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu
kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para
fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya
meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah
adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan
setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”[21].
Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan
keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk
ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga
berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan
atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali
saluran di dalamnya atau membangunnya untuk kepentingannya[22].
Dari uraian di atas
jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki
tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati.
Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara
dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak
tanah.
Di Indonesia kewenangan
untuk membuka lahan tidur diberikan kepada setiap individu atau badan hukum
selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan izin dari penguasa setempat baik
dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat propinsi. Untuk tanah yang
berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung dari Badan pertanahan
Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan
masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam hukum Islam lahan
seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang sama juga
dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi sosial
tidak dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu masih difungsikan
untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak mengenal kepemilikan
tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat yang disebut
dengan hak ulayat[23].
Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung bersifat individual. UUPA
sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif
tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan
pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah
bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan
baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau badan hukum, maka kewenangan
untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja akan tetapi
harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat yaitu kepada Gubernur untuk
tingkat propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk tingkat Kotamadya/Kabupaten, dan
Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan[24].
H. Ihya’ Al-Mawat Dalam Masalah Pertanian
Dalam
masalah produksi, termasuk di bidang pertanian, Islam tidak menyinggung masalah
bagaimana tatacara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa
menghasilkan kekayaan. Telah diriwayatkan, bahwa Nabi SAW.
pernah bersabda adalah masalah penyerbukan kurma, “Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan)
dunia kalian.” Juga terdapat riwayat, bahwa Nabi SAW.
pernah mengutus dua orang Muslim untuk berangkat ke pandai besi Yaman
demi mempelajari industri persenjataan. Semua ini menunjukkan,
bahwa syariah telah menyerahkan masalah memproduksi harta kekayaan tersebut
kepada manusia, agar mereka memproduksinya sesuai dengan keahlian dan
pengetahuan mereka.
Demikian
pula dalam bidang pertanian. Pilihan tatacara pengadaan dan peningkatan
produksi pertanian merupakan hal yang mubah untuk ditempuh. Hanya saja,
pilihan cara peningkatan produksi itu harus dijaga dari unsur dominasi dan
dikte asing, serta pilihan yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke
depan. Untuk itu peningkatan produksi dalam pertanian biasanya menempuh
dua jalan, intensifikasi dan ekstensifikasi, sebagaimana telah
diujelaskan sebelumnya.
Intensifikasi
pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia.
Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan
teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu petani dalam hal
pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk serta sarana produksi
pertanian lainnya. Sekali lagi, pilihan atas teknologi serta sarana
produksi pertanian yang digunakan berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas
kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu intervensi dalam
pengelolaan pertanian negara oleh pihak asing dapat dihindarkan.
Adapun
ekstensifikasi pertanian dicapai dengan[25]:
Pertama,
mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah mati. Lahan
baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan pasang surut dan
sebagainya, sesuai dengan pengaturan negara. Tanah
mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang serta tidak
tampak ada bekas-bekas apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun
yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) artinya mengelola
tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah
mati, jika telah telah dihidupkan oleh seseorang, menjadi milik yang
bersangkutan. Syariah telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang
menghidupkannya.
Kedua, setiap orang yang memiliki tanah diperintahkan untuk mengelola
tanahnya secara optimal. Siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan
diberi modal dari Baitul Mal sehingga orang yang bersangkutan bisa mengelola
tanahnya secara optimal. Namun, apabila orang yang bersangkutan
mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan
diberikan kepada yang lain.
Kebijakan
Islam dalam distribusi lahan pertanian tentu amat erat kaitannya dengan tanah.
Tanah merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling
serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh
faktor produksi lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat memenuhi
kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah
bersifat tetap. Sifat lainnya adalah tanah bukan produk tenaga kerja.
Segala sesuatu yang lain adalah produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam
masyarakat, permasalahan tanah juga telah menjadi penyebab pertentangan,
pertikaian dan pertumpahan darah. Tanah juga memberikan andil besar dalam perubahan
struktur dan sistem masyarakat. Sistem ekonomi Kapitalisme maupun Sosialisme
dalam hal ini sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap
orang-orang yang memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya
sebagai alat eksploitasi masyarakat.
Dari
sudut sejarah, status kepemilikan tanah terus berkembang mengikuti kompleksitas
masyarakat. Pada masa kehidupan berburu dan meramu, kepemilikan atas tanah
bukanlah termasuk raison d’etre oleh masyarakat saat
itu. Ketika masyarakat mulai memasuki tahap awal dunia pertanian, kepemilikan
atas tanah mulai melembaga. Namun, tipe perladangan berpindah yang diterapkan
masyarakat primitif waktu itu belum menimbulkan masalah dalam kepemilikan
tanah. Kepemilikan tanah saat itu dianggap sebagai kepemilkan sementara karena
mereka meninggalkan tanahnya setelah selesai dipergunakan. Baru pada tahap
pertanian menetap dan populasi masyarakat semakin bertambah, masyarakat mulai
mencintai tanah dan berusaha menguasai tanah secara permanen. Pada periode ini,
meski masih dianggap sebagai milik masyarakat, tanah dibagi sama rata pada
kepala keluarga dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Lalu datanglah suatu
masa ketika pembagian secara periodik tidak dipakai lagi. Mereka yang telah
mengolah tanahnya tidak mau tunduk lagi pada tujuan komunitas. Mereka
mempertahankan tanah garapannya dan memunculkan lembaga kepemilikan keluarga.
Sistem ini terus berkembang menjadi kepemilikan bebas. Tidak hanya bebas untuk
memiliki, namun juga bebas untuk memindahtangankan kepemilikan kepada pihak
lain.
Pemilikan
tanah dianggap suatu tipe kepemilikan yang par excellence (paling istimewa) di
negara-negara kapitalis. Tanah boleh dimiliki oleh individu seluas-luasnya,
bahkan menyewakannya kepada masyarakat dengan harga sewa dan harga jual yang
dilakukan sewenang-wenang. Akibatnya cukup serius, harga bahan pokok naik dan
inflasi terjadi. Bagi negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan pajak.
Konsekuensinya, dalam sistem kapitalis, penyewaan tanah akan memberikan nilai
tambah dan karena itu dapat dikenakan pajak tinggi. Namun, pemilikan atas
secara individual justru tidak diakui dalam masyarakat sosialis. Para petani
dan kaum buruh dilarang mengambil nilai tambah dari hasil kerjanya. Status
mereka pun semata-mata sebagai buruh tani. Sistem ini secara faktual
menimbulkan ketimpangan ekonomi dan menjadikan negara-negara sosialis gagal
mencapai swasembada pangan pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka masih
bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Hingga
kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama
perekonomian. Persoalan tentang kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh
ekonomi kapitalis dan sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab
oleh sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah
harus diatur sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi. Islam
secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara
seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam
juga tidak mengizinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar
kemampuan untuk mengelolanya. Sistem
ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kategori kepemilikan individu
apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya, seperti terdapat kandungan
bahan tambang atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap absah
secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelola tanahnya maupun
memindahtangankan tanahnya melalui pewarisan, jual-beli, hibah, wakaf, ihya’ al-mawat, tahjir, dan iqtha’.
Salah
satu masalah dalam pertanian di Indonesia adalah masalah lahan pertanian. Menurut Anton
Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia. Dua diantaranya adalah luas kepemilikan lahan petani sempit sehingga sulit menyangga
kehidupan keluarga petani, dan masih banyaknya lahan tidur (idle land). Sebagai contoh, data
menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem dengan luas
garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia rata-rata
memiliki lahan 0,98 ha/petani. Namun, menurut sensus 2003 petani Indonesia
hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan di Pulau Jawa petani hanya memiliki 0,3 ha
dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15 Juli 2011).
Solusinya? Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun untuk
merasionalisasi (mengurangi) jumlah petani yang memiliki lahan sempit. Ini
artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah mendasarnya
sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. Solusi ini
juga jelas tidak menggunakan syariah Islam yang sebenarnya telah mengatur
bagaimana seseorang dapat memiliki lahan. Contoh lain, masalah
lahan tidur. Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, misalnya
dengan memanfaatkan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Padahal syariah Islam
punya solusi untuk mengatasi lahan-lahan tidur yang ditelantarkan oleh
pemiliknya.
Jika
hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian diterapkan, masalah-masalah
lahan di Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan
yang sempit, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum ihya’ al-mawat. Seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim akan mendapat
kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme ihya’ al-mawat. Dengan kata lain, sistem ekonomi Islam telah menetapkan mekanisme lainnya dalam
penguasaan tanah secara khusus, yaitu menghidupkan tanah mati dan pemberian
oleh negara. Karena itu, hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam
memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan sistem ekonomi lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
·
Ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki
seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun
mendirikan bangunan.
·
Dasar hukum ihya’
al-mawat didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan
lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
·
Cara-cara Ihya’
al-Mawat adalah sebagai berikut: menyuburkan, menanam, membuat pagar, dan menggali
parit.
·
Obyek yang berkaitan
dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati. Sedangkan
tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut
diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk
hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.
·
Menurut Syekh Muhammad
Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat hukumnya boleh. Hafidz Abdullah berpendapat
barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah
kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika
seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka
akibat hukumnya mencakup pemilikan lahan itu, hubungan pemerintah dengan lahan
itu, dan seorang telah menggarap sebidang lahan.
·
Para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup: orang yang
menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
·
Mayoritas ulama berbeda
pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib
diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis
menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa
(pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan
mengenai hal tersebut.
·
Dalam masalah pertanian, jika
hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian diterapkan, masalah-masalah
lahan kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit,
dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum ihya’ al-mawat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Hafidz. Kunci Fiqih Syafi’i. Semarang: CV. Asy Syifa, 1992.
Abdullah, Shalih
ibn
Fauzan ibn. Al-Mulakhashu
al-Fiqhi. Arab Saudi:
Darl ibn
al-Jauzi, 2005.
Al-Zuhaily, Wahbah. Fiqh Islam wa Adilatuh, Juz VI. Damaskus:
Darl al-Fikr, 1997.
Al-Asqalani, Al-Hafizh
ibn
Hajar. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam.
Indonesia: Al-Hidman, 733-852 H.
Al-Ghazzi, Syekh Muhammad
ibn Qasyim. Fath al-Qarib al-Mujib.
Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab al-Arabiah.
Al-Husaini, Imam Taqi
al-Din abu Bakar ibn Muhammad. Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar.
Damaskus:
Darl al-Khair, 1994.
An-Nabhani, Taqyuddin. Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al-Azhar
Press, 2009.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Koleksi
Hadis-Hadis Hukum. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001.
Efendi,
Bachtiar. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni, 1993.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah.
Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007.
Jabal, Muaz
bn. dan Al-Wahbah
Al-Zuhaili,
Al-Figh Al-Islami Wa
Adillahtuh, Vol V.
Damascus:
Darnl FikT, 1989.
Mejelle, The. Article 1270. Lahore: Law Publishing Co., 1967.
Q.S. Al-Jumu’ah/62: 10.
Qudamah, Ibn. Al-Kaffi
fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal.
Beirut: Al-Maktabul
Islami, 1988.
Sabiq, Sayyid. Fiqh
al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fath
al-Arabia, 1990.
Salendeho, John. Masalah Tanah dan Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika,
1993.
Uj-Haque, Zua. Landlord and Peasant in Early Islam: A Study of the Legal Doctrine of Muzaraa or
Sharecropping. Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1984.
Yahya. Kitab al-Kharaj. Beirut: Dar
al-Ma’arif, 1979.
Yusuf, Abu. Kitab al-Kharaj. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979.
[1] Zua Uj-Haque,
Landlord and Peasant in Early Islam: A Study of the Legal Doctrine of
Muzaraa or Sharecropping, (Islamabad:
Islamic Research Institute Press, 1984), p. 248.
[2] Taqyuddin
An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 72.
[3] The Mejelle, Article 1270, (Lahore: Law Publishing
Co., 1967), p. 207.
[4] Sayid Sabiq, Fiqh
Sunnah, (Beirut: Dar al-Fath al-Arabia, 1990), h. 273.
[5] Q.S. Al-Jumu’ah/62: 10.
[6] Imam Taqi
al-Din abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat
al-Ikhtisar, (Damaskus: Darl al-Khair, 1994), h. 361.
[7] Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (Indonesia: Al-Hidman, 733-852 H.), h. 195.
[8] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 227.
[9] Wahbah
al-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adilatuh, Juz VI, (Damaskus: Darl
al-Fikr, 1997), h. 4616.
[10] Nasrun Haroen, Fiqh
Muamalah, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007), h. 47.
[11] An-Nabhani, Sistem,
h. 73.
[12] Hafidz
Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h. 189-190.
[13] Muaz bn Jabal,
Al-Wahbah al-Zuhaili, Al-Figh Al-Islami Wa
Adillahtuh, Vol V, (Damascus: Darnl FikT, 1989), p. 561.
[14] An-Nabhani, Sistem, h. 137.
[15] Ibn Qudamah, Al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Al-Maktabul Islami, 1988), h. 435.
[16] Al-Husaini, Kifayah,
h. 361.
[17] Abdullah, Kunci,
h. 189-190.
[18] Syekh Muhammad
ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Indonesia: Dar al-Ihya
al-Kitab al-Arabiah, tt), h. 38.
[19] Shalih ibn
Fauzan ibn Abdullah, Al-Mulakhashu al-Fiqhiy, (Arab Saudi: Darl ibn
al-Jauzi, 2005), h. 152.
[20] Sabiq, Fiqh,
h. 274.
[21] Yahya, Kitab
al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), h. 19.
[23] John
Salendeho, Masalah Tanah dan Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika,
1993), h. 284.
[24] Bachtiar
Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993),
h. 40.
[25] Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), h. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar