BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam menjalani
kehidupan ini, manusia tidak dapat hidup secara sendiri- sendiri tanpa bantuan
orang lain. Dikarenakan keterbatasan seseorang tersebut dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Islam telah memberikan tuntunan dan aturan, serta
memberikan kemudahan bagi umatnya untuk menjalani kehidupan di dunia ini dalam
rangka pengabdiannya kepada Allah SWT.
Wadi’ah
merupakan salah satu bentuk dari kegiatan hubungan antara manusia yang dikenal
dengan al-Wadiah. Al- wadi’ah adalah salah bentuk saling tolong-
menolong antara manusia dengan jalan pemberian amanah suatu barang dari satu
pihak kepada pihak lain untuk menjaga barang tersebut, atau sering disebut
dengan titipan.
Dewasa ini, praktek wadi’ah
telah diterapkan di dalam perbankan syari’ah. Umat Islam tidak perlu khawatir
dalam menggunakan jasa Wadi’ah di dalam perbankan syari’ah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2.
Apa landasan hukum dari wadi’ah?
3.
Apa saja yang termasuk rukun dan syarat wadi’ah?
4.
Apa saja hukum menerima benda titipan?
5.
Apa saja pembagian wadi’ah?
6.
Bagaimana aplikasi wadi’ah dalam
perbankan?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
Mengetahui apa saja yang terdapat
didalam pembahasan wadi’ah antara lain pengertian, rukun dan syarat,
landasan hukum wadi’ah, pembagian wadi’ah dan aplikasinya dalam
perbankan syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN WADI’AH
Secara Etimologi
Secara
etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan
(amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u –
wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[1]
Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Secara terminology :
Secara terminologi wadi’ah
menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah
yang dikemukakan ulama fiqh :
·
Ulama Hanafiyah :
Wadi’ah dengan makna
penitipan merupakan suatu istilah dari mengikutsertakan orang lain dalam
menjaga barangnya
·
Ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :
توكيل في حفظ مملوك على
وجه مخصوص
“mewakilkan
orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”[3]
·
Secara
istilah wadi’ah dapat disimpulkan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua
belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan
baik.
·
Sementara
itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan
“Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang
mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan
untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.[4]
B.
LANDASAN
HUKUM WADI’AH
Asal dari Al-wadi’ah itu adalah boleh, bagi
manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain harus bisa menjamin
dalam menjaganya.[5]
Ulama fikih sependapat,
bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong
menolong antara sesama manusia.
Sebagai landasannya
firman allah di dalam al-quran
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
58. Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.[6]
Menurut
para mufasir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Usman bin
Talhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah SWT.
Dalam ayat lain disebutkan:
....فليؤد الذي اؤتمن اما نته .... ÇËÑÌÈ
“..... Hendaklah orang dipercayai itu menunaikan amanat
.... (al-Baqarah: 283).[7]
Di dalam hadits Rasulullah disebutkan:
اد
الأمانة االى من ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى والحاكم(
“Hendaklah amanat orang yang mempercayai anda
dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.” (HR. Abu Daud,
Tirmidzi dan Hakim).[8]
Dasar dari ijma’, yaitu
ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah sunnah. Dalam
kitab Mubdi disebutkan : “ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan wadi’ah.
Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwa wadi’ah termasuk
ibadah sunnah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.[9]
Kemudian
berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN MUI/IV/2000, menetapkan
bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip
Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian
juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa
DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu
tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah[10]
C.
RUKUN
DAN SYARAT WADI’AH
Rukun Wadi’ah
Menurut
ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab
dan qobul[11]. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan
bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
1. Orang yang berakad
2. Barang titipan
3. Sighah, ijab dan kobul
Syarat
Dalam
hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’,dan wadi’ah.
Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus
balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa
suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.[12]
a. Syarat-syarat
benda yang dititipkan
1. Benda
yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda
tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke
dalam air, maka wadi’ah tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib
mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiah.[13]
2. Syafi’iyah
dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai
nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, maupun najis.
Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan.
Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada
manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.[14]
b. Syarat
Shigat
Sighat
adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab
harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih)
dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa
lafal dengan kinayah harus dengan disertai niat. Contoh : lafal yang sharih:
“Saya titipkan barang ini kepada anda”. Sedangkan lafal sindiran “berikan
kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab:” saya berikan mobil ini kepada
anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah dan wadiah (titipan).[15]
c. Syarat
orang yang menitipkan (al-mudi’)
Syarat orang yang menitipkan adalah
sebagai berikut:
1. Berakal
2. Baligh.
Syarat ini dikemukakan oleh Syafiiyah. Dengan demikian menurut Syafiiyah,
wadiah tidak sah apabila dilakukan dengan anak yang belum baligh. Tetapi
menurut Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadiah sehingga wadiah
hukumnya sah apabila dilakukan dengan anak mumayyiz dengan persetujuan
dari walinya.
d. Syarat
orang yang dititipi (al-muda’)
1. Berakal
2. Baligh.
Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak
menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia
sudah mumayyiz.
3. Malikiyah
mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat, mampu menjaga
barang yang dititipkan kepadanya,
D.
HUKUM MENERIMA BENDA TITIPAN
Menurut keadaannya,
hukum menerima wadi’ah ada empat. Yaitu :
a)
Wajib
Bagi
orang yang sanggup diserahi(dititipi) oleh orang lain dan hanya dia
satu-satunya orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga,
apabila orang yang menitipi itu dalam keadaan darurat.
b)
Sunnat
Bagi
orang yang merasa sanggup diserahi suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga
barang yang diamanatkan dengan sebaik-baiknya.
c)
Makruh
Bagi
orang yang sanggup, tetapi tidak percaya terhadapa dirinya sendiri, apakah ia
mampu menjaga amanat itu dengan baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak
dapat mempertanggung jawabkannnya.
d)
Haram
Bagi
orang yang benar-benar tidak sanggup untuk diserahi suatu amanat.[16]
Rusak
dan Hilangnya Benda Titipan
Jika
orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa
unsur kesengajaan darinya, maka ucapan harus disertai dengan sumpah supaya
perkataaan itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun Ibnu al-Munzil
berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara
hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut
Ibnu Taimiyyah apabila seorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku
bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola
tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda titipan wajib
menggantinya.[17]
Ibnu
Taimiyya dalam Kitab Mukhtasar al-Fatawa mengatakan, “Barang siapa mengaku
bahwa dia menjaga barang titipan bersama hartanya, kemudian barang itu dicuri,
sementara hartanya sendiri tidak, maka ia wajib bertanggung jawab.
Kecerobohan
yang Menyebabkan Tanggungan
Pada dasarnya orang
yang diserahi suatu amanat itu tidak berhak untuk menanggung resiko apapun,
baik barang yang diamanatkan itu rusak
atau hilang. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari
Amr bin Syu’abi dari ayahnya dari kakeknya, dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda : “barang siapa yang menerima titipan, maka baginya tidak usah ada
jaminan.
Akan tetapi, apabila
barang yang diamanatkan itu rusak atau hilang disebutkan oleh kecerobohan dari
orang yang diserahi, maka wajib baginya untuk menanggungnya, yaitu dengan cara
mengganti atau memperbaiki barang tersebut. Adapun bentuk kecerobohan dari
orang yang diserahi amanat yang sangat mengakibatkan timbulnya tanggungan
adalah sebagai berikut.
- Tidak
disimpan ditempat yang wajar,
- Dititipkan
kepada orang lain tanpa seizing pemiliknya.
- Dipergunakan
tanpa izin pemiliknya, sehingga rusak.
- Disia-siakan.
- Tidak
terlalu memperhatikan dalam pemeliharaan, sehingga hilang.
- Berkhianat,
maksudnya ketika pemiliknya mengambil barang tersebut, ia tidak
memberikannya,
- Ketika
ia dalam keadaan sakit parah tiidak meninggalkan wasiat, sehingga ahli
warisnya tidak mengetahui kalau orang tuanya diserahi amanat oleh
seseorang.
Wadi’ah berakhir ketika salah satu dari
pihak meninggal dunia atau gila atau meminta berhenti, baik itu orang yang
memberi amanat(menitipkan) maupun orang yang diserahi amanat tersebut.[18]
E.
PEMBAGIAN WADI’AH DAN PENERAPANNYA
PADA PERBANKAN SYARI’AH
Secara umum, terdapat
dua jenis Wadi’ah, yaitu :
1. Wadi’ah
yad al-amanah (Trustee Defostery)
Al- wadi’ah Yad Al-Amanah,
yaitu titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (penitip) kepada
pihak lain (bank) untuk memelihara (disimpan) barang/uang tanpa mengelola
barang/ harta tersebut. Dan pihak lain (bank) tidak dibebankan terhadap
kerusakan atau kehilangan pada barang/harta titipan selama hal tersebut.
Aplikasinya di perbankan yaitu: safe deposit box.[19]
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik
sebagai berikut:
-
Harta atau barang yang dititipkan tidak
boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
-
Penerima titipan hanya berfungsi sebagai
penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang
dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
-
Sebagai kompensasi, penerima titipan
diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
-
Mengingat barang atau harta yang
dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan
yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe defosit box.
a. Wadi’ah
yad adh-dhamanah (Guarantee Depository)
Wadi’ah
ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (nasabah)
kepada pihak lain (bank) untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain
(bank) dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk
mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik
menghendaki. Konsekuensinya jika uang itu dikelola pihak lain (bank) dan
mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain (bank)
dan bank boleh memberikan bonus atau hadiah pada pihak pertama (nasabah) dengan
dasar tidak ada perjanjian sebelumnya. Aplikasinya di perbankan yaitu :
tabungan dan giro tidak berjangka.[20]
Wadi’ah
jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
-
Harta dan barang yang dititipkan boleh
dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
-
Karena dimanfaatkan,barang dan harta
yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian,
tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada
si penitip.
-
Produk perbankan yang sesuai dengan akad
ini.
Prinsip wadi’ah yad
dhamanah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam dunia perbankan
syari’ah dalam bentuk produk-produk pendanaan, yaitu:
·
Giro (Current Account) Wadi’ah
·
Tabungan (Saving Account) Wadi’ah
Wadi’ah
yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan
perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah
(ganti rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1.
Barang itu tidak dipelihara oleh orang
yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang akan
merusaknya, tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi
(mencegahnya).
2.
Barang titipan itu dimanfaatkan oleh
orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang
titipan seharusnya dipelihara, bukan
dimanfaatkan.
3.
Orang yangdititipi mengingkari ada
barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan
jenis varangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga apabila
terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4.
Orang yang menerima titipan barang itu,
mencampuradukkan dengan bangan pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak
atau hilang, maka sukar untuk
menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan
itu.
5.
Orang yang menerima titipan itu tidak
menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat
penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.[21]
F.
APLIKASI DALAM PERBANKAN
Dalam
hal ini, adanya pembahasan tentang adanya produk-produk perbankan syariah yang
termasuk dalam penghimpunan dana(funding), yakni giro, tabungan, dan
deposito.
Secara umum,
yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penariknya dapat dilakukan
setiap saat dengan menggunakan cek bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya,
atau dengan pemindahbukuan.
Adapun
yang dimaksud dengan giro syari’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syari’ah Nasional telah
mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan secara syarah
adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
a.
Giro wadiah
Yang
dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad
wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika
pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah, yad al dhommanoh, pihak
yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang
dititipkan. Hal ini berarti bahwa wadi’ah yad al dhomanoh, mempunyai
implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai
pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami.
Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk
memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan
tersebut. Dalam kaitannya dengan produk giro, bank syariah menerapkan prinsip
yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan
uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak
yang dititipi yang disertai hak untuk
mengelola dana titipan dengan tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil
dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun demikian, bank syariah diperkanankan
memberikan insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya.
Dari pemaparan di atas, dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum giro wadiah
sebagai berikut:
1. Dana
wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersil dengan syarat
harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.
2. Keuntungan
atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif
untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.
3. Pemilik
dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik
sebagian ataupun seluruhnya.
Seperti yang dikemukakan di atas,
bank dapat memberikan bonus atas penitipan dana wadiah. Pemberian bonus
dimaksud merupakan kewenangan bank dan tidak boleh diperjanjikan di muka.[22]
Dalam memperhitungkan bonus
tersebut, hal- hal yang harus diperhatikan adalah:
·
Tarif bonus wadiah merupakan
besarnya tariff yang diberikan bank sesuai ketentuan.
·
Saldo terendah adalah saldo terendah dalam
satu bulan
·
Saldo rata-rata harian adalah total
saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya menurut bulan
kalender.
·
Saldo harian adalah saldo pada akhir
hari.
·
Hari efektif adalah hari kalender tidak
termasuk hari-hari tanggal pembukaan atau tanggal penutupan, tetapi termasuk
hari tanggal tutup buku.
·
Dana giro yang mengendap kurang dari
satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan atau ditutup tidak pada akhir
bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila penghitungan bonus
wadiahnya atas dasar saldo harian.
b.
Tabungan Wadi’ah
Di
samping giro, produk perbankan syariah lainnya termasuk produk penghimpunan
dana (funding) ada tabungan. Berdasarkan UU NO. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas UU NO.7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan
tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro
dan atau lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
Adapun
yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan
berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syari’ah Nasional
mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah
tabungan yang berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Ketentuan
umum tabungan wadiah adalah sebagai berikut:
1. Tabungan
wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
2. Keuntungan
dan kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau
tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijadikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian.
3. Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif
selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.[23]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
·
Secara
istilah wadi’ah dapat disimpulkan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua
belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan
baik
·
Landasan
hukum wadi’ah adalah surat Al-Baqarah ayat 283, An-Nisa ayat 58, hadits Nabi,
Ijma’ Ulama, dan Dewan syari’at Nasional
·
Rukun wadi’ahh adalah baligh,
berakal, sehat. Sedangkan syarat-syarat wadi’ah dillihat dari aspek Muwaddi’,
Wadi’I dan Wadi’ah
·
Hukum menerima Wadi’ah adalah Wajib,
Sunna, Makruh, dan Haram
·
Pembagian wadi’ah antara lain : wadi’ah
yad-amanah dan wadi’ah
ad-dhamanah
·
Aplikasi wadi’ah dalam perbankan
syaariah adalah berbentuk Giro Wadi’ah dan tabungan
DAFTAR
PUSTAKA
Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa
Arab-Indonesia (Jakarta : Hidayakarya
Agung,2005)
‘Al-asqilani, Al-Hafidz Ibnu Hajar Bulughul
Maram, Jeddah
‘Al jaziri, Abdul Rahman, Kitab
al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 1 (Riyadh ;Darul Fikr Riyadh, 2005)
____________________, Kitab al-Fiqh
‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 2 (Riyadh ;Darul Fikr Riyadh, 2005)
____________________,Kitab al-Fiqh
‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 3(Riyadh ;Darul Fikr Riyadh, 2005)
Al-Qur’an
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank
Syari’ah dari Teori ke Praktik , Gema Insani Press, Jakarta, 2001
Chapra, Umer, Sistem Moneter Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 2000)
Fatwa DSN MUI,
http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui
di akses pada 20 Maret 2013, pukul 09.00
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah , (Jakarta:Gaya Media
Pratama,2007)
Hasan, M. Ali , Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat). Jakarta: Rajawali Pers. Jakarta,
2000
Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd
al-Mukhtar, (Beirut:dar al-Fkr, 1992)
Karim, Adiwarman, Islamic Banking,
Jakarta, Rajawali Press,
________________,Bank Islam
Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2010)
Labib Mz, Harniawati, Risalah Fiqih
Islam, Surabaya: Bintang usaha Jaya, 2006
M.A Mannan. Islamic
And Economics,j theory and practice, Bookseller and exporters,
Pakistan,1991
sheikh Mahmud Ahmad,
Economics of Islam, Jayyed press, delhi, 1980
Undang-Undang mengenai Wadi’ah,
www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf, diakses pada 25
Maret 2013, pukul 09.00
Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa
Arab-Indonesia (Jakarta : Hidayakarya
Agung),2000.
[1] Kamus
Arab-Indonesia, Prof. DR. H. Mahmud
Yunus, 2005, Hidayakarya Agung; Jakarta, Hal. 495
[2] ‘Abdul Rahman Al jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib
al’arba’ah,, Jilid 1 Darul Fikr Riyadh, 2005,h. 182
[3] Nasrun Haroen,
Fiqh Muamalah (2007); Gaya Media Pratama, Jakarta, Hal. 244-245
[4] Undang-Undang mengenai Wadi’ah, www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf,
diakses pada 25 Maret 2013, pukul 09.00
[5]Abdul Rahman Al jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib
al’arba’ah,Jilid 2 Darul Fikr Riyadh, 2005,h. 181
[6] Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat:58
[7] Alqur’an, surat Al- Baqarah, ayat:283
[8] Al-Hafidz Ibnu Hajar ‘Al-asqilani, Bulughul Maram, Jeddah, h.182
[9] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, Ensiklopedi Fiqh Muamalah
dalam Pandangan 4 Mazhab,Yogyakarta: Maktabah al-hanif,2009, h. 390
[10] Fatwa DSN MUI, http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui
di akses pada 20 Maret 2013, pukul 09.00
[11]Abdul Rahman Al jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 2 Darul Fikr Riyadh, 2005,h. 185
[12] Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Gema Insani, Jakarta,
2000, h. 200
[13] Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, Beirut, dar al-Fkr, 1992,
h. 328
[14] Abdurrahman al jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al arba’ah…
h. 249
[15] Ibid, h.250 dan 253
[16] Labib Mz, Harniawati, Risalah Fiqih Islam, Surabaya: Bintang usaha
Jaya, 2006, h.773
[17] Hendi Sufendi, Fiqh
Muamalah, (Jakarta;PT.Raja Grafindo Persada,2002,)h.185
[18] Mardan, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana 2012, h. 282
[19] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik
, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, h. 110
[20] Nasroen Harun, Fiqh Muamalah, Gema Media Pratama, Jakarta, 2007,
h. 103
[21] M. Ali Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam
Islam (Fiqh mu’amalat). Rajawali
Pers. Jakarta. Hal 249
[22] Adiwarman Karim, Islamic Banking, Jakarta, Rajawali Press, h.
288-289
[23] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,
(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2010), h. 339
Tidak ada komentar:
Posting Komentar