BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Problem sosial yang
terjadi pada masyarakat sekarang ini dapat diatasi antara lain dengan hasil
waqaf sebagai institusi sosial yang sangat strategis. Waqaf disamping salah
satu aspek ajaran islam, juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya
mewujudkan kemashlahatan ,baikuntukmasyarakat terbatas maupun luas yang
berkesinambungan,oleh karena itu pengkajian ulang terhadap konsep waqaf agar
memiliki makna yang lebih releven dengan kondisi riil masyarakat menjadi sangat
penting.
Fiqih waqaf
menjelaskanbahwa waqaf adalah suatu pemberian yang pelaksanaannya dilakukan
dengan cara menahan pokoknya dan mendermakan hasilatau manfaanyakepada
masyarakat, yang mana ta’rip ini berasal
dari petunjuk Nabi ,sedangkan cara penggunaan dan pemanfaatannya diorientasikan
pada sector-sektor kebajikan dan
kemashlahatan sesuai dengan kehandak pewaqaf
yang tertuang dalamikrarnya tanpa mengharap imbalan.
Waqaf juga berperan
sangat besar untuk kepentingan masyarakat, baik dalam memfasilitasi kegiatan
keagamaan dan social maupun kegiatan-kegiatan akademik lainnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah makalah ini adalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan waqf, dasar
hukum waqaf, pembagian waqaf, rukun dan syarat waqaf ?
2.
Bagaiman penerapan waqaf pada zaman
dahulu dan yang akan datang?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Mengetahui
apaitu waqaf, dasar hukum waqaf, pembagian waqaf,rukun dan syarat waqaf.
2. Mengetahui
seluk beluk waqaf pada zaman dahulu dan yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Wakaf
Menurut bahasa
wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah ( terkembalikan ), al-tahbis
( tertahan ), al-tabsil ( tertawan ), dan al-man’u ( mencegah ). Kata waqaf sendiri
berasal dari kata kerja yaitu waqafa (
fi’il madhi ), yaqifu ( fi’il
mudhari’ ), waqfan ( isim mashdar )
yang berarti berhenti atau berdiri dan menahan.[1]
Waqaf pada
lughat adalah menahan atau mengekang harta, seperti saya mewaqafkan harta binatang
ternak saya ini, dan pada syarah disisi abu hanifah adalah penetapan atau
menahan harta atas kepemilkan si waqif itu, dan sedangkan yang diambil itu
manfaatnya.[2]
Sedangkan menurut istilah syara’ yang
dimaksud dengan wakaf sebagai yang didefinisikan oleh para uama adalah sebagai
berikut.
1. Muhammad
al-Syarbini al-kitab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan waqaf ialah:
2. حبس ما ل يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقَطع
التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود
“Penahana harta yang mungkin untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya
zat benda dengan memutuskan ( memotong ) tasharruf ( pengelolaan )dalam
penjagaannya atas musyrif ( pengelola ) yang dibolehkan adanya”
2. Iman
Taqiy al- Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni dalam kitab kifayatul al-Akhyar berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah:
3. ممنوعٌ من التصرف في عينه و تصرف منا فعه في البر
تقربا إلى الله تعالى
“
Penahanan harta yang memunkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya
), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untukmende katkan diri kepada
allah swt.
4. Ahmad
Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan harta
yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah seketika, ddan untuk penggunaan yang
dibolehkan, serta dimaksudkan dlam mendekatkan diri kepada allah swt.[3]
Menurut
ulama fiqih yang terkenal dimasa dulu sampai sekang yaitu ulama Syafiiyah mengartikan wakaf sebagai
menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal bendanya dengan cara
memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan
kepada nadzir yang dibolehkan oleh syariah. Mazhab ini mensyaratkan harta yang
diwakafkan harus harta yang kekal bendanya, yang berarti harta yang tidak mudah
rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya terus-menerus.[4]
Dari
definisi-definisi yang telah dijelaskan oleh para ulama diatas, kiranya dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan waqaf itu adalah menahan sesuautu benda
yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan
dijalan kebaikan.
B. Sejarah perkembangan Waqaf
Dalam
sejarah pembinaan hukum Islam, amal wakaf telah dikenal semenjak masa
Rasulullah, walaupun pada saat itu belum menggunakan term tersebut. Selanjutnya
para Ulama berbeda pendapat mengenai siapa orang yang pertama melaksanakan
praktik waqaf, sebagian meraka mengatakan Rasulullah adalah orang yang pertama
melaksanakan praktik waqaf, sedangkan yang lain mengatakan Umar Bin Khatab.
Perbedaan pendapat ini bersumber dari perbedaan Ulama sahabat, seperti
dikemukakan oleh Al-Syaukani dalam kitabnya Nail Al-Authar[5]
bahwa menurut kaum Anshar orang yang mula-mula melaksanakan praktik waqaf
adalah Rasulullah sedangkan menurut kaum Muhajirin Umar Bin Khatab.
Perselisihan
ini terkait dengan persoalan sejarah wakaf produktif yang dipraktikkan oleh Rasulullah berupa tujuan lokasi perkebunan korma yang sangat terkenal,
yaitu al’araf, al-shafiyah, al-dalal, al-misyab dengan waqaf yang dipraktikkan
oleh Umar Bin Khatab dikawasan Khaibar.
Waqaf yang dipraktekkan oleh Rasulullah berasal dari Muhairiq, seseorang Yahudi
yang gugur dalam perang Uhud sementara waqaf produktif yang dilakukan oleh Umar
bin Khatab adalah sejumlah kafling yang
diperoleh sesudah penaklukan wilayah itu. Apabila dilihat dari asfek historis
tentunya sudah jelas, karena perang Uhud terjadi pada tahun ketiga hijriyah
sedangkan perang Khaibar terjadi pada tahun ketujuh, dengan demikian
perselisihan mengenai siapa orang yang pertama melaksanakan praktik waqaf tentu
dapat diselesaikan, yaitu Rasulullah, kemudian Umar bin Khattab.
Ibnu
Hisyam menjelaskan secara kronologis
mengenai terjadinya penyerahan harta milik Muhairiq kepada Rasulullah
SAW. Keduanya adalah pemimpin umat yang saling mengenal, Muhairiq seorang Ulama
Yahudi yang terkenal alim dan kaya, memiliki bnyak harta dan kebun
korma,sementara Rasulullah adalah pemipin yang sudah terkenal kepiawaiannya
oleh masyarakat dan Muhairiq sangat menghormatinya. Ketika perang uhud terjadi,
hari itu adalah hari sabtu, Muhairiq berpesan kepada kaumnya agar
dalampeperangan ini mendukung perjuangan Rasulullah. Ketika bergegas hendak
berangkat ke uhud, ia berpesan bahwa apabila nanti ia tidak kembali (gugur),
supaya hartanya diserahkan kepada Rasulullah dan terserah digunakan untuk apa
yang dipandang baik menurut pandangan Allah.
Menurut
AL-waqidi bahwa Muhairiq menyerahkan
hartanya sebelum kepergiannya ke Uhud, waktu ia belum memeluk Islam, dengan
demikian Muhairiq tidak disebut-sebut sebagai pewaqaf pertama lantaran yang
bersangkutan berbeda Agama (orang Yahudi) dan penyerahan hartanya kepada Nabi
dilakukan sebelum perang uhud.Tetapi menurut Ibnu Hisyam penyerahan Muhairiq
bersifat wasiat,bukan penyerahan bersifat langsung, sehingga Rasulullah
posisinya sebagai penerimaan wasiat yang berwenang menyalurkan harta sesuai
dengan wasiatnya. Artinya perpindahan kekuasaan harta Muhairiq kepada kepada
Rasulullah terjadi setelah peristiwa kematian Muhairiq, yaitu seusai perang
Uhud dan Muhairiq ternyata gugur dalam peperangan tersebut.
Dari
uraian tersebut terjadi penafsiran yang berbeda sehingga penulis sejarah tidak
menyebut-nyebut Muhairiq sebagai seorang pewaqaf, mungkin hartanya dianggap
sebagai harta tak bertuan sehingga setelah pemiliknya meninggal dunia dikuasai
oleh Rasulullah dan disalurkan sesuai dengan isi wasiatnya. Tetapi apabila
dilihat dari isi wasiat secara utuh kiranya dapat diketahui bahwa Muhairiq
menyerahkan hartanya kepada Rasulullah bukan untuk dimiliki, tetapi untuk
kepentingan umum (amal sosial) sebagai mana yang dikemukakan oleh Muhairiq.
Perselisihan
berikutnya terkait dengan sejarah waqaf non produktif, dalam sejarah pembinaan
hukum Islam telah terjadi kesimpangansiuran riwayat mengenai siapakah orang yang membebaskan sebidang
tanah kosong dipusat kota Yastrib yang kemudian digunakan untuk membangun
komplek penyebaran islam Islam disana (Masjid Nabawi). Menurut Husain Haikal,
Rasulullah membelinya sendiri dari kedua anakyatim bernama Sahl dan Suhail,
keduanya putra Amr yang telah meninggaldunia. Sementar Ibnu Hisyam tidak tegas
menyebutkan apakah tanah tersebut dibeli oleh Rasulullah, atau salah seorang sahabat,
atau bahkan merupakan jariyah (shadaqah)
dari keluarga kedua anak yatim tersebut.
Ibn Hisyam hanya menyebutkan bahwa Muaz
bin Afra, wali kedua anak yatim tersebut telah mengizinkan Rasulullah untuk
membangun sebuah masjid ditempat itu, tanpa memberikan penjelasan secara rinci
bagaimana proses perizinan terjadi. Ibnu Hisyam hanya menjelaskan bahwa setelah
mendapatkan izin dari walinya, Rasulullah langsung menggerakkan kaum Anshor dan
Muhajirin untuk membangun masjid secara bergotong royong .
Mengenai
kemungkinan waqaf dari keluarga kedua anak yatim tersebut didukung adanya
sebuah riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik yang menjelaskan bahwa tanah
masjid berasal Bani Najjar, keluarga dari kedua anak yatim,bukan dari orang
lain. Anas bin Malik menjelaskan secara kronologis proses terjadinya waqaf,bahwa ketika
Rasulullah sampai di Madinah beliau ingin segera membangun sebuah masjid
kemudian meminta kepada keluarga Bani Najjar untuk menentukan harga tanahnya, tetapi
keluarga Banni Najjar tidak mau menerima uang pembayaran dari Rasulullah
melainkan untuk beramal waqaf. Dari penuturan ini dapat dapat disimpulkan bahwa
tanah kosong tempat penjemuran kurma yang dijadikan tempat pembangunan mesjid
Nabawi adalah waqf dari kedua keluarga tersebut.
Perselisihan
selanjutnya mengenai siapa orang pertama yang elakukan praktek waqaf (non produktif) disepakati bahwa tepat
beribadatan pertama yang dibangun oleh kaum muslimin adalah masjid quba, mesjid
ini dibangun oleh Rasulullah dan sahabatnya ketika beliau sedang dalam
perjalanan hijrah ke Madinah. Dilihat dari asfek hukumnya, tidak ada
perselisihan bahwa pembangunan masjid adalah praktik waqaf yang sah. Namun
menjadi pertanyaan adalah tanah milik siapakah yang digunakan untuk membangun
masjid tersebut.
Ilyas
Abdul Ghani, seorang penulis kotemporer menjelaskan secara kronologis bahwa
Rasulullah dalam perjalanannya menuju Madinah singgah terlebih dahulu kerumah
Kalsum bin al-Hidm di Quba, sebuah desa di Madinah. Di desa itu Rasulullah
sempat membangun sebuah masjid diatas tanah peletaran milik tuan rumahnya.
Dalam pelaksanaan pembangunan masjid, Rasulullah turun tangan bersama para
sahabat baik dari kalangan anshor maupun muhajirin.
Dari
uraian tersebut tampak sangat sulit untuk menentukan siapa orang pertama melaksanakan
praktek waqaf (non produktif), berdasarkan riwayat tersebut dapat diduga bahwa
oranga pertama yang melaksanakan praktik waqaf adalah Kultsum bin Hidm, seorang
penduduk Quba yang menyediakan peralatannya untuk pembangunan masjid. Namun
demikian tidaklah mustahil apabila ada sahabat lain yang turut berpartisipasi
dalam pembebasan tanah peralatan tersebut, yang sudah pasti adalah dalam
pembangunan mesjid banyak orang yang berpartisipasi sehingga masjid dapat
terwujud dalam waktu singkat.
Terlepas
dari perselisihan mengenai siapakah
orang pertama yang melaksanakan praktik waqaf, kiranya dapat dikemukakan bahwa
waqaf non produktif yang pertama dalam Islam adalah waqaf pembangunan masjid
quba, kemudian pembangunan masjid Nabawi. Pebangunan kedua masjid tersebut oleh
kaum muslimin secara bergotong royong. Sedangkan waqaf produktif yang pertama
dilaksanakan oleh Rasulullah berupa tujuh bidang tanah perkebunan yang berasal
darri muhairiq, atau muhairiq sendiri sebagai pewaqaf pertama, kemudian waqaf
Umar bin Khatab dikawasan khaibar yang jumlahnya mencapai 100 kafling,, waqaf
Rasulullah atau Muhairiqterjadi pada tahun ketiga hijriyah,sedangkan waqaf Umar
bin Khatabterjadi pada tahun ketujuh hijrah.
Pada
masa sahabat amal waqaf berkembang pesa,diperaktikan oleh hampir seluruh
sahabat. Seorang shabat bernama Jabir mengatakan bahwa sahabat Rasul yang mampu
semuanya melaksanakan praktik waqaf. Sa’ad bin Zurarah juga mengatakan hal yang
sama, bahwa sahabat-sahabat Rasul yang urut erperang badar, baik dari kalngan
Anshor maupun Muhajirin semuanya melaksanakan praktik waqaf.
Penggunaan
harta waqaf pada umumnya berupa lahan pertanian yang subur pada masaawal
Islammampu menunjang kehidupan masyarakat dan mencangkup berbagai kebajikan,
Ibnu Umar memberikan laporan yang rinci mengenai penggunaan hasilwaqaf dari 100
kafeling dikawasan khaibar yang dikelolanya . Periode berikutnya, Al-khasshaf
menyebutkan nama-nama thabi’in yang melaksanakan praktik waqaf,antara lain Abu
Ja’far mewaqafkan hartanya untuk peningkatankesejahteraan hamba sahaya,serta
Umrah binti Abdurrahman mewaqafkan hartanya untukpeningkatan kesejahteraan
keluarga dan masyarakat .
Pemanfaatan
pada periode ini semakin luas, tidak terbatas pada pada pemberian bantuan kaum
dhuafa saja, tetapi meluas pada pembangunan lembaga dan instansi seperti markastentara, asrama
haji di Mekkah tempat peribadahan (Masjid), dan fasilitas lainnya yang menjadi
kebutuhan kaum usliin secara umum.[6]
Praktik
waqaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyyah, semua
orang berduyun-duyun untuk melaksanakan waqaf, dan waqaf tidak hanya untuk
ornag-orang fakir dan orang miskin saja, tetapi waqaf menjadi modal untuk
membangun lembaga pendidikan,mebangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para
guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Antusiasme masyarakat
kepada pelaksanaan waqaf telah menarik perhatian Negara untuk mengatur
pengelolaan waqaf sebagai sector untuk mebangun solidaritas social dan ekonomi
masyarakat.
Pada
masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadramy
pada asa khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Ia sangat perhatian dantertarik
dengan pengembangan waqaf sehingga terbentuklembaga waqaf tersendiri sebagimana
lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga waqaf inilah yang pertama
kali dilakukan dalam administrasi waqaf di Mesir,bahkan diseluruh Negara Islam.
Pada saat itu juga ,hakimTaubah mendirikan lembaga waqaf di Bashrah.Sejakitulah
pengelolaan lembaga waqaf dibawah
departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada
yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada
masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga waqaf yang disebutdengan “Shadr
al-Wuquuf”, yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga
waqaf. Demikian perkembangan waqaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah Yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga waqaf yang berkembang searah dengan pengaturan
administrasinya.
Perkembangan
berikutnya yang dirasa manfaat waqaf telah menjadi tulang punggung dalam roda
ekonomi pada masa dinasti Mamluk
mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara
pasti awal mula disahkannya undang-undang waqaf. Sejak abad ke lima
belas,kerajaan Turki Usmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya,sehingga
Turki dapat menguasai sebagian besar wilayahnegara Arab. Kekuasaan politik yang
diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapakan
Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwaqafan. Diantara
Undang-undang yang dikeluarkan pada masa dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan waqaf, yang
dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang
tersebut mengatur tentang pencatatan waqaf, sertifikasi waqaf, cara pengelolaan
waqaf, upaya mencapai tujuan waqaf dan melembagakan waqaf dalam upaya realisasi
waqaf dari sisi administrative dan perundang-undangan.
Pada
tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang
kedudukan tanah-tanah produktif yang berstatus waqaf. Dari implementasi
undang-undang tersebut di Negara-negara
Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai saat
sekarang.
Sejak
masa Rasulullah,masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang waqaf masih dilaksanakan
dari waktu ke waktu diseluruh negara muslim,termasuk di Indonesia sendiri[7].
C. Dasar Hukum Waqaf dan Kedudukan
waqaf
Para Ulama mengemukakan
beberapa ayat Alquran dan Hadits sebagai dasar hukum waqaf
1)
Dasar dari Alquran
Diantara
ayat Alquran yang dijadikan dasar hokum
pelaksanaan waqaf adalah
Surat Ali Imran : 92
عَلِيمٌ بِهِ اللَّهَ فَإِنَّ شَيْءٍ مِنْ تُنْفِقُوا وَمَا تُحِبُّونَ
مِمَّا تُنْفِقُوا حَتَّى الْبِرَّ تَنَالُوا لَنْ
Artinya : “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebahagiaan harta yang yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan dari hal kebajikan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Dalam
ayat diatas menjelaskan bahwa amalan waqaf termasuk amalan yang amat besar
pahalanya menurut ajaran Islam, hamprr seluruh amalan seseorang akan terhenti
atau putus pahalanya bila orang itutelah meninggal dunia, sedangkan waqf akan
tetap mengalir pahalanya dan tetap diteriama oleh waqif walaupu telah meninggal
dunia, selain itu hadits Nabi juga menjelaskan tentang dasara hukum waqaf sebagai mana di terangkan:
عن
ابي هريرة رضي الله عنه انَ رسول الله صلى الله عليه وسلم قا ل : إذ مات الإنسان
انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعوله
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra,
bahwasanya Rasulullah bersabda : Apabila manusia meninggal dunia,putuslah
pahala semua semua amalnya, kecuali tiga amal yaitu : sedakah jariyah (waqaf),
ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang selalu mendoakan kedua orang
tuanya.(HR.Bukhari)
Sedekah
jariyah disini adalah sedekah harta yang
tahan lama atau yang lama dapat diambil manfaatnya untuk tujuan kebaikan yang
di Ridhai oleh Allah SWT,[8]
seperti menyedekah kan tanah untuk mendirikan masjid,rumah sekolah, dan
sebagainya, sehingga para ulama sepakat bahwa yang dimaksud sedekah jariyah
disini adalah amalan waqaf[9].
D.
Ketentuan-ketentuan
Wakaf
Menurut
Ahmad Azhar Basyir berdasarkan hadist yang berisi tentang wakaf Umar r.a. Maka diperoleh ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
1. Harta
waqaf itu harus tetap ( tidak dapat dipindahkan kepada orang lain ), baik
dijualbelikan, dihebahkan, maupun diwariskan.
2. Harta
waqaf terlepas dari pemilikan orang yang mewaqafkannya.
3. Tujuan
waqaf itu harus jelas ( terang )dan termasuk dalam perbuatan baik menurut
ajaran agama islam.
4. Harta
waqaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam dalam
harta waqaf sekedar perlu tidak berlebihan.
5. Harta
waqaf itu dapat berupa tanah dan sebagainya, yang tahan lama dan tidak mudah
rusak dalam sekali pakai atau digunakan. [10]
E.
Rukun
dan Syarat Wakaf
Pembahasan
tentang rukun dan syarat dijelaskan rukunnya kemudian dijelaskan
syarat-syaratnya yang berkaitan dengan rukun tersebut. Karena dalam wakaf ada
syrat-syarat yng bersifat umum, maka akan dijelaskan yarat-syarat umum terlebih
dahulu kemudian dijelaskan rukun-rukunya dan syarat-syaratnya yang berkaitan
dengan rukun tersebut.
Syarat
syarat wakaf yang bersifat umum adalah sebagai berikut
1. Wakaf
tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk
selamanya, tidak untuk waktu tertentu. Bila seseorang mewaqafkan kebun atau
tanah untuk jangka selama 10 tahun, maka
waqaf tersebut dipandang batal.
2. Tujuan
wakaf harus jelas seperti mewakafkan sebidang tanah untuk mesjid, mushalla,
pesantren, atau peruburan hokum. Namun, apabila seseorang mewaqafkan sesuatu
kepada hokum tanpa menyebutkan tujuannya, maka
hal itu dipandang sah, sebab penggunaan benda tersebut menjadi wewenag
bagi lembaga hokum yang menerima harta-harta waqaf tersebut.
3. Wakaf
harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh orang yang mewakafkan. Bila waqaf digantungkan dengan kematian yang
memawaqafkan, ini bertalian dengan wasiat dan tidak bertalian dengan waqaf.
4. Wakaf
merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiar (membatalkan
wakaf ) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya
5. Hendaklah
jelas kepada siapa diwaqafkan. Kalau dia berkata,“ saya waqafkan rumah ini“,
waqaf tersebut tidak sah karena tidak jelas kepada siapa diwaqafkan rumah
tersebut.[11]
Rukun-
rukun wakaf adalah
a. Orang
yang berwakaf ( wakif )
·
Berhak berbuat kebaikan
·
Kehendak sendiri bukan karena paksaan
b. Harta
yang diwakafkan ( maukuf )
·
Kekal zatnya,. Berarti bila manfaatnya
diambil, zat barang itu tidak rusak.
·
Kepunyaannya yang diwakafkannya
c. Tujuan
wakaf ( maukuf`alaih )
d. Pernyataan
wakaf ( sighat wakaf )
Syarat-syarat
yang berkaitan dengan mewaqafkan( waqif ) ialah si waqif mempunyai kecakapan
melakukan tabarru’. Yaitu melepaskan hak milik tanpa ada imbalan material.
Orang yang dikatakan dengan cakap bertindak tabarru’ adalah baligh, beakal sehat dan tidak keterpaksaan
dalam mewaqafkan harta tersebut.
Dalam
fiqih islam dikenal dengan baligh dan
Ryasid , baigh,dititik beratkan pada
umur dan ryasid dititk beratkan pada
kematangan pertimbangan akal, maka akan dipandang tepat bila dalam cakap
bertabrau disyariatkan rasyid, yang dapat ditentukan dengan penyelidikan.
Syarat
orang yang berwaqaf itu harus benar-benar keyakinannya dan tidak ada
keragu-raguan dalan melaksanakan waqaf tersebut. Benda yang diwaqafkan itu yang bisa diambil
manfaatnya selama benda tersebut tidak berubah dan hancur. Dan tidak dikatakan waqaf jika benda tersebut
cepat habis atau cepat rusak seperti
nasi, wangi-wangian sebab keduanya manfaatnya cepat habis, maka kedua ini
dinamakan shadaqah saja bukan shadaqah jariah (waqaf). Akan tetapi sah mewaqafkan tanah atau kebun,
rumah, bumi menurut para pendapat yang shahih dan ijma para ulama terdahulu.[12]
Syarat-syarat
yang berkaiatan dengan harta yang ingin diwaqafkan ialah bahwa harta waqaf ( mauquf ) merupakan harta yang bernilai,
milik yang mewaqafkan ( waqif ), dan tahan lama untuk digunakan atau
manfaatnya dapat diambil dalam jangka
panjang.[13]
Harta waqaf dapat juga berupa uang, yang dimodalkan,berupa saham bagi
perusahaan, dan berupa apa saja yang lainnya. Hal yang penting pada harta yang
berupa modal adalah dikelola dengan baik dan sedemikian rupa ( semaksimal
mungkin ), sehingga mendatangkan kemaslahatan dan keuntungan untuk ditasharruf kan
pada jalan kebikan dengan kebaikan bersama.[14]
F.
Macam-macam
wakaf
1.
Wakaf
Ahli
wakaf
ahli yaitu wakaf yang ditunjukksn kepada orang-orang tertentu, seorang atau
lebih, keluarga si wakaf atau bukan. Wakaf ini juga disebut wakaf Dzurri.
Apabila
ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya,
wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk
dalam pernyataan wakaf.Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) kadang-kadang juga
disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu
wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan social dalam lingkungan
keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.[15]
Wakaf
untuk keluarga ini secara hukum islam dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf
keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Di ujung Hadits tersebut
dinyatakan sebagai berikut:
Artinya:
Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya
kamu memberikannya kepada keluarga terdekat.Maka Abu Thalhah membagikannya
untuk para keluarga dan anak-anak pamannya.
Dalam
satu segi, wakaf ahli ini baik sekali, karena si wakaf akan mendapat dua
kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari
silaturahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi, pada
sisi lain wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti: bagaimana kalau
anak cucu yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah) ?siapa yang berhak
mengambil manfaat benda (harta wakaf) itu? Atau sebaliknya, bagaimana jika anak
cucu si wakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa,
sehingga menyulitkan bagaimana cara meratakan pembagian hasil harta wakaf?
Untuk
mengantisipasi punahnya anak cucu (keluarga penerima harta wakaf) agar harta
wakaf kelak tetap bias dimanfaatkan dengan baik dan berstatus hukum yangjelas,
maka sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa wakaf ini untuk
anak, cucu, kemudian kepada fakir miskin. Sehingga bila suatu ketika ahli
kerabat ( penerima wakaf) tidak ada lagi (punah), maka wakaf itu bisa langsung
diberikan kepada fakir miskin. Namun, untuk kasus anak cucu yang menerima wakaf
ternyata berkembang sedemikian banyak kemungkinan akan menemukan kesulitan
dalam pembagiannya secara adil dan merata.
Pada
perkembangan selanjutnya, wakaf ahli
untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan
dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta
wakaf. Dibeberapa Negara tertentu, seperti: Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair,
wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai
segi, tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif. Untuk itu
dalam pandangan KH. Ahmad Azhar Basyir MA, bahwa keberadaan jenis wakaf ahli
ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk dihapuskan.
2.
Wakaf
Khairi
Wakaf
khairi adalah wakaf secara tegas untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan
(kebajikan umum)[16].
Seperti wakaf yang diserahkan untuk
keperluan pembangunan mesjis, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak
yatim dan lain sebagainya.
Jenis
wakaf ini seperti yang dijelaskan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW yang
menceritakan tentang wakaf Sahabat Umar bin Khatab. Beliau memberikan hasil
kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba
sahaya yang berusaha menebus dirinya.Wakaf ini ditunjukkan kepada umum dengan
tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan
kesejahteraan umat manusia pada umumnya.Kepentingan umum tersebut bisa untuk
jaminan social, pendidikan, kesehatan, pertahananan, keamanan, dan lain-lain.
Dalam
tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya
dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang
ingin mengambil manfaat.Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai
dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga,
si wakif ( orang yang mewakafkan harta)
dapat mengambil manfaat dari harta yang di wakafkan itu, seperti wakaf mesjid
maka si wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka siwakif boleh
mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan
Sahabat Ustman bin Affan.
Secara
substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara
membelanjakan (memanfaatkan) harta dijalan Allah SWT. Dan tentunya kalau
dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik
di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan,
kesehatan, keamanan dan sebagainya.Dengan demikian, benda wakaf tersebut
benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya
untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
Wakaf
khairi inilah yang bener-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat
digembirakan dalam ajaran islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir
hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.[17]
G.
Pengawasan,
Menukar Dan Menjual Harta Wakaf
Pada
dasarnya pengawasan harta waqaf merupakan hak waqif, akan tetapi waqif boleh menyerahkan pengawasan kepada orang
lain, baik lembaga maupun perorangan. Untuk menjamin kelancaran masaalh
perwaqafan, peraturan-peraturan yang mengatur permasalahan waqaf termasuk
pengawasannya.
Untuk
pengawasan waqaf yang sifatnya perorangan diperlukan syarat-syarat sebagai
berikut, yaitu :
·
Berakal dan sehat
·
Baligh
·
Dapat dipercaya
·
Mampu melaksanakan urusan-urusan waqaf.
Bila
syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hakim berhak menunjuk orang lain yang mempunyai
hubungan kerabat dengan waqaf. Bila kerabat juga tidak ada, maka ditunjuk orang
lain. Agar pengawasan dapat berjalan dengan lancar dan baik, pengawasan waqaf
yang bersifat perorangan boleh diberi
imbalan secukupnya sebagai gajinya atau boleh diambil dari hasil harta
waqaf tersebut. Pengawasan harta waqaf berwenang melakukan perkara-perrkara
yang dapat mendatangkan kebaikan harta waqaf, dan mewujudkan
keuntungan-keuntungan bagi tujuan waqaf, dengan memperhatikan syarat-syaratyang
ditentukan waqif.
Jaminan
perwaqafan di Indonesia dinyatakan dalam Undang-Undang pokok Agraria No.5 tahun
1960 pasal 49 ayat 3 yang menyatakan
bahwa perwaqafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan peraturn
pemerintah.[18]
Berdasarkan
hadist yang diriwayatkan oleh imam
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a yang menceritakan tentang waqaf Umar
bahwa waqaf umar yang mencertakn tentang waqaf umar bahwa waqaf tidak boleh
dijual, diwariskan, dan diheibahkan. Masalahnya adalah apabila harta waqaf berkurang, rusak atau t dak memenuhi
fungsinya sebagai harta waqaf, apakah harta waqaf itu harus dipertahankan tidak
boleh dijual atau ditukar?,
Perbuatan
waqaf dinilai ibadah yang senatiasa
mengalir pahalanya apabila harta waqaf
dapat memenuhi fungsinya yang dituju. Dalam hal harta waqaf yang berkurang, rusak, atau tidak lagi dapat
memenuhi fungsinya yang dituju, harus
dicari jalan keluarya agar harta tersebut
utuh dan tidak berkurang. Bahkan
untuk menjual atau menukarkannya pun tidak dilarang, kemudian ditukarkan dengan
benda lain yang dapat memenuhi tujuan waqaf.
Salah
satu ulama Mazhab Hambali yang dikenal dengan nama Ibnu Qudamah
berpendapat bahwa apabila harta waqaf
tersebut mengalami kerusakan sehinggga tidak dapat lagi membawa manfaat sesuai
dengan tujuannya, hendaklah dijual saja, kemudian harga penjualannya dibelikan
dengan benda-benda lain yang akan mendatangkan manfaat sesuai dengan tujuan waqaf
dan benda-benda yang dibelikan itu berkedudukan sebagai harta waqaf seperti
semulanya.[19]
BAB
II
KESIMPULAN
waqaf
adalah menahan perpindahan miliksuatu
harta yang bermanfaat dan tahan lama,sehingga manfaat harta itu dapat digunakan
untukmencarikeridhaan Allah SWT.
Rukun-
rukun wakaf adalah
e. Orang
yang berwakaf ( wakif )
·
Berhak berbuat kebaikan
·
Kehendak sendiri bukan karena paksaan
f. Harta
yang diwakafkan ( maukuf )
·
Kekal zatnya,. Berarti bila manfaatnya
diambil, zat barang itu tidak rusak.
·
Kepunyaannya yang diwakafkannya
g. Tujuan
wakaf ( maukuf`alaih )
h. Pernyataan
wakaf ( sighat wakaf )
Macam-macam
wakaf
1. Wakaf
Ahli
2. Wakaf
Khairi
Ketentuan-ketentuan
Wakaf
1. Harta
waqaf itu harus tetap ( tidak dapat dipindahkan kepada orang lain ), baik
dijualbelikan, dihebahkan, maupun diwariskan.
2. Harta
waqaf terlepas dari pemilikan orang yang mewaqafkannya.
3. Tujuan
waqaf itu harus jelas ( terang )dan termasuk dalam perbuatan baik menurut
ajaran agama islam.
4. Harta
waqaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam dalam
harta waqaf sekedar perlu tidak berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Hamid . Su’ad , Taisiiru Ar-Rahman Fi Tajwidu
AL-Qur’an , Mesir, Daru At- Taqwa, 2001
Abi Bakri Al Murginani.Syaih
Al-Islamu Burhanuddin Ali. Fathu Al-Qadir.Libanon
Darulkitab Al-Ilmi’ah.1995.
Ahmad Qoqri Anwar. Islamic
Jurisprudence In The Modern Work, New
Delhi,
Taj Company, 1986.
Al-Alabij.Adijani. Perwaqapan Tanah di Indonesia. Jakarta,
PT. Rajawali Pers, 1989
Al-Syaukani, Nail al-Authar, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabi,
Azhar Basyir.Ahmad Wakaf; Izarah dan Syirkah. Bandung, PT.
Al Ma’rifat.1987.
Direktorat Pemberdayaan Waqaf, Fiqih Waqaf, Jakarta,Departemen Agama
Ri.2007
Direktorat Pemberdayaan Waqaf, Pedoman Pengelolaan Waqaf, Jakarta,
Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam. 2007.
Karim.Helmi, Fiqih Muamalah,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993
Muzarie.Mukhlisin. Hukum perwaqafan, Jakarta, Kementrian
Agama RI, 2010
Rasjid.Sulaiman. Al-Fiqhu Al-Islamu, Bandung, Sinar Baru
Algensido, 2010 .
Sabiq.Sayyid. Fiqhu as-Sunnah, Lebanon, Dar al-‘Arabi,
1971.
S.C Sircar. Al-Syari’ah,Sunni and Imamah Code, New Delhi, Nusrat Ali Nasri For
kitab, 2006.
Soemitra.Andre, Lembaga Keuangan
Bukan Bank, Jakarta, Kencana, 2009.
Suhendi.Hendi . Fiqih Muamalah, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2002.
Syaih Asy-Syafi’I.Jaubali. Mughni Al-Muhtaj. Turki, Darul Al-Fikru,
2009.
[1] Adijani Al-Alabij, Perwaqapan Tanah di Indonesia. (PT. Rajawali
Pers: Jakarta 1989). H 23
[2]
Syaih Al-Islamu Burhanuddin Ali Bin
Abi Bakri Al Murginani. Fathu Al-Qadir. (
Darulkitab Al-Ilmi’ah: Libanon 1995). H 189-190
[4]
Su’ad wa ‘Abdul Hamid , Taisiiru
Ar-Rahman Fi Tajwidu AL-Qur’an , (
Daru At-Taqwa, Mesir :2001 ). H
[5]
Al-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir, Musthafa al-Baby al-Halabi) H.24
[6]
Mukhlisin Muzarie, Hukum
perwaqafan (Jakarta : Kementrian Agama RI, 2010), hlm, 99
[7] Direktorat
Pemberdayaan Waqaf, Fiqih Waqaf, ( Jakarta :Departemen Agama Ri,2007),H. 6-10
[8] Ahmad Qoqri Anwar. Islamic Jurisprudence In The Modern Work,(New
Delhi, Taj Company), H.455
[9] Heli Karim, Fiqih Muamalah. (Raja
Grafindo Persada, Jakarta : 1993). H.93
[12] Syaih Jaubali Asy-Syafi’I, Mughni Al-Muhtaj. ( Darul Al-Fikru, Turki
:2009 ). Juz 2. H.510-512
[13] Andri Soemitra, Lembaga Keuangan
Bukan Bank. (Kencana, Jakarta : 2009), H.439
[14] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah. (PT.Raja Grafindo
Persada, Jakarta: 2002). H 242-243
[15] Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, (Lebanon : Dar
al-‘Arabi), 1971, hal.387
[16]
Ibid
[17]Dr.H. Hendi Suhendi. M.Si, Fiqih Muamalah, ( Jakarta: PT. Raja
Grafindo ), hal. 246
[18] S.C Sircar. Al-Syari’ah,Sunni and Imamah Code, (New Delhi, Nusrat Ali Nasri For
kitab), H.148.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar